Mohon tunggu...
Fathan Muhammad Taufiq
Fathan Muhammad Taufiq Mohon Tunggu... Administrasi - PNS yang punya hobi menulis

Pengabdi petani di Dataran Tinggi Gayo, peminat bidang Pertanian, Ketahanan Pangan dan Agroklimatologi

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Akhirnya Kuputuskan Menjatuhkan "Talak Tiga" Untuknya

19 November 2020   13:40 Diperbarui: 21 November 2020   18:30 631
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi berhenti merokok. (sumber: pxiabay.com/HansMartinPaul)

Aku mulai mengenalnya sejak masih duduk di bangku SMP, bahkan mungkin ketika masih berada di sekolah dasar. Tapi aku mulai dekat dan menyukainya, setelah tamat dari SMP, ketika aku akhirnya gagal melanjutkan sekolah ke jenjang SMA karena tidak mampu menembus sekolah negeri, yang biaya sekolahnya murah.

Masa-masa aku "nganggur" sebelum akhirnya masuk ke SMA tahun berikutnya, membuatku semakin akrab dengannya, membuatku semakin akrab dengannya, dalam kondisi "galau", dia selalu setia menemaniku. 

Kedekatanku dengannya terus berlanjut ketika aku mulai duduk di bangku SMA, meski aku harus sedikit membatasinya, karena harus fokus belajar dan takun ketahuan guru, kemudian disanksi oleh sekolah. Tapi perjalan panjangku dengannya, harus kuakhiri dengan 'talak tiga'

Aku mulai mengenal tembakau berbumbu cengkih berbalut kertas sigaret ini sudah sejak usia belasan tahun, saat aku masih sekolah di tingkat SMP, bahkan aku sudah mulai coba-coba untuk mengisapnya ketika masih berada di bangku terakhis sekolah dasar. Tapi waktu itu, aku merokok hanya secara insidentil saja, misalnya pas momentum hari lebaran, sekedar untuk gengsi-gegsian sama teman-teman.

Memasuki usia SMP, aku sudah mulai sering merokok sebatang-sebatang, tapi belum kecanduan, karena dalam seminggu mungkin hanya dua tiga kali saja mengisap rokok, dan jujur saat itu belum bisa merasakan nikmatnya merokok, hanya merasa asyik saja.

Kecanduanku terhadap benda bernikotin yang konon sangat tidak baik untuk kesehatan ini, mulai menjadi-jadi ketika aku tamat SMP pertengahan tahun 1982.

Kebetulan aku tidak mampu menembus SMA Negeri yang biaya sekolahnya terjangkau oleh orang tuaku yang hanya seorang pegawai negeri dengan pangkat rendah, sementara adik-adiku ada empat orang. Untuk memaksakan diri masuk ke sekolah swasta yang biaya sekolahnya tinggi, jelas nggak mungkin.

Gambar 1, Rokok terselip dibibir, seolah sudah menjadi ikon dalam setiap penampilanku (Doc. FMT)
Gambar 1, Rokok terselip dibibir, seolah sudah menjadi ikon dalam setiap penampilanku (Doc. FMT)
Saat menganggur sekolah seperti itu, aku akhirnya berusaha kerja serabutan, yang penting bisa menghasilkan uang dengan cara halal. Mulai dari buruh merajang jahe, menjual mainan anak-anak sampai terjun ke bisnis kecil-kecilan dalam bidang pengolahan jahe. 

Punya penghasilan sendiri, meski hanya sedikit, membuat aku semakin dekat dengan rokok, meski masih dalam porsi terbatas, sehari paling menghabiskan 2 -- 3 batang saja.

Ketergantunganku pada rokok semakin menjadi ketika keluargaku memutuhkan untuk 'hijrah' ke Aceh untuk merubah nasib dengan membuka lahan pertanian disini. Sebagai anak tertua dengan adik-adik yang masih kecil, aku menjadi pembantu utama bagi orang tua untuk membuka lahan baru di pedalaman kabupaten Aceh Tengah.

Bekerja di lahan baru yang masih berupa tebangan hutan nyaris sepanjang hari, membuatku seperti membutuhkan asupan nikotin sebagai 'pemicu semanagat' kerja, meskipun sebenarnya itu hanya sugesti saja. 

Di situlah aku mulai intens merokok, sehari menghabiskan sebungkus isi 20 batang, bahkan bisa lebih. Kondisi seperti itu terus berlanjut sampai akhirnya kau bisa masuk ke sebuah SMA Negeri di kabupaten Aceh Tengah pada pertengahan tahun 1983.

Meski sudah kembali sekolah lagi, tapi candu nikotin itu nggak bisa serta merta 'kubunuh', meski dengan posti terbatas dan harus main 'petak umpet' dengan guru, namun aktifitas menjadi 'ahli isap' terus berlanjut. 

Kecanduanku seperti 'mendapat angin' ketika akhirnya aku mendapatkan orang tua angkat di perantauan ini. Kebetulan bel;iau tau kalau aku memang sudah 'terjerat' oleh nikotin ini, karena beliau juga seorang perokok berat, dan akhirnya aku dapat jatah rokoh juga dari beliau, sebagai imbalan karena aku sambil sekolah juga menjaga sawah dan kebun milik beliau.

Tamat SMA tahun 1986, kembali aku harus menerima kenyataan tidak bisa 'meraih mimpi' untuk bisa duduk di bangku kuliah, padahal aku sudah dinyatakan lulus di perguruan tinggi melalui penelusuran minat dan bakat.

Tanpa banyak pertimbangan, aku memutuskan untuk kembali membatu orang tua di kebun, namun karena kebun baru dibuka, hasilnyapun belum seberapa, sementara gaji bapak sebagai pegawai negeri masih tertahan di Jawa akibat proses pemindahannya belum tuntas.

Kembali bekerja di kebun, 'antusia' untuk merokok kembali menggebu, karena hanya itu satu-satunya 'hiburan' pelepas lelah bagiku.

Aku mulai bisa merasakan nikmatnya isapat asap bernikotin itu, dan mulai tidak menghitung porsi lagi, dua tiga bungkus pun lewat.

Apalagi disamping bekerja di kebun, terkadang aku juga ikut bekerja menjadi pebang kayu di hutan yang hasilnya waktu itu tergolong lumayan, jadi 'budget' untuk rokok bisa tertutupi.

Gambar 2, Rokok adalah keseharianku dimanapun dan apapaun aktifitasku (Doc. FMT)
Gambar 2, Rokok adalah keseharianku dimanapun dan apapaun aktifitasku (Doc. FMT)
Sekitar setahun aku hidup di kebun dan hutan, sampai akhirnya orang tua angkatku memintaku untuk melanjutkan kuliah di perguruan tinggi swasta di daerah ini.

Meski aku hanya menjalani kuliah 'sekedarnya' namun IPku tidak pernah kurang dari 3. Padahal kalo dosen masuk, aku biasa mengikuti kuliah sambil mengisap rokok, kebetulan ruang kuliah memang tidak be AC, karena daerah kami memang berhawa sejuk dan dingin, jadi nggak perlu AC dan sebagian besar dosen tidak melarang mahasiswanya merokok di kelas.

Semua mata kuliah bisa 'kulahap' kurang dari 6 semester, sampai akhirnya aku dinyatakan lulus sebagai CPNS pada tahun 1989 dan awal tahun 1990, aku mulai bekerja setelah menrima SK pengangkatanku sebagai pegawai negeri. Kuliah yang hanya tinggal menyusun skripsipun aku tinggalkan, karena aku lebih fokus untuk bekerja dan aku nggak punya ambisi sedikitpun untuk menduduki jabatan apapun.

Punya gaji sendiri meski cuma sedikit dengan status lajang, kecanduanku pada rokok meski menjadi. Dan itu terus berlanjut ketika aku mulai berumah tangga setahun setelah diangkat sebagai PNS. Ya, meski harus berbagi dengan uang belanja untuk keluarga baruku, tapi aktifitas isap mengisap tetap jalan terus.

Seiring dengan waktu, penghasilanku sebagai PNS juga mulai meningkat sedikit demi sedikit, apalagi kemudian isteriku juga menyusul diangkat menjadi PNS, membuatku lebih leluasa untuk mengatur belanja rokokku.

Akibatnya, sehari aku bisa menghabiskan 2 sampai 3 bungkus rokok, dan seperti sangat sulit untuk mencegah mulut ini agar tidak dijejali asap bernikotin ini.

Pakaianku sampe bolong-bolong terkena percikan api rokok, dan meja kerjaku sering penuh dengan puntung rokok, begitu juga di rumah, nyaris tidak pernah kosong asbak yang kesediakan di meja.

Meski isteriku sering mengingatkanku tentang bahaya meroko, apalagi di dalam rumah, namun 'warning' itu nyaris tidak pernah ku gubris. Toh belanja rumah tanggaku tidak pernah terganggu, begitu prinsipku waktu itu, karena selain gaji, aku juga sering mendapat honor dari media yang memuat tulisanku, karena memang sejak diangkat jadi PNS, aku mulai eksis menulis di media, terutama di media pemerintah.

Terkadang aku juga kerja sampingan melayani pembuatan spanduk kain, dan sering mendapat order membuat spanduk dari kawan-kawan dari instansi lain, karena waktu itu masih serba manual, dan butuh keterampilan tertentu untuk bisa membuat spanduk, belum ada mesin digital printing seperti saat ini.

Hasilnya lumayan lah, bisa mem'back up" kecanduan rokokku tanpa mengganggu belanja rumah untuk anak istri. Terkait dengan aktifitas menulis, waktu itu akau malah sampai punya semboyan 'nggak bisa nulis kalo nggak merokok', belakangan akau menyadari, bahwa inspirasi menulis sama sekali nggak ada hubungannya sama rokok.

Pernah aku mencoba untuk berhenti merokok, tapi paling hanya bisa bertahan selama sebulan, dan selanjutnya malah makin 'parah' kecanduanku. Banyak teman-teman yang kemudian memutuskan berhenti merokok setelah dilarang oleh dokter, karena pernah dirawat akibat penyakit dalam yang lumayan parah.

Tapi Alhamdulillah, sangat jarang aku mengalami sakit yang sampe ke dokter atau rumah sakit, paling-paling Cuma ke mantri atau Puskesmas karena penyakit ringan seperti masuk angin, flu atau batuk. Mungkin inilah yang menyebabkan aku tetap merasa nyaman dan aman untuk terus menjadi pengisap nikotin ini.

Tapi mungkin sudah menjadi hukum alam, seperti rumus kimia, reaksi apapun akan mengalami titik jenuh pada masanya. Begitu juga yang terjadi pada diriku, sudah lebih 35 tahun dalam belenggu nikotin yang menjeratku, akhirnya aku pada keputusan untuk berhenti merokok.

Awalnya kau mengira ini sebuah keputusan yang sulit, tapi ternyata tidak, padahal sebelumnya aku sudah nyaris 'tidak bisa hidup tanpa rokok' Aku sendiri membayangkan, aku dihantui kegelisahan luar biasa saat jariku tidak lagi menjepit sebatang rokok, menyelipkan di bibir  dan mulutku tidak mengepulkan asap lagi.

Pengalaman sebelumnya yang sudah membuktikan bahwa aku memang tidak memapu menghentikan aktifitas merokokku, membuat ada semacam ganjalan psikis untuk mengambil keputusan ini.

Sebelumnya, dimanpun tempat, baik di rumah, di kantor, di tempat ngumpul-ngumpul, di kafe, apalagi di lahan pertanian yang menjadi 'kantor kedua'ku sebagai 'pembina dan penyuluh' petani, nyaris tidak pernah rokok lepas dari jepitan tanganku. Bahkan ketika harus mengikuti acara di ruangan hotek ber AC, tempat pertama yang kukejar saat jeda adalah 'smoking area'.

Gambar 3, Hampir semua teman tidak pernah melihat penampilanku tanpa rokok (Doc. FMT)
Gambar 3, Hampir semua teman tidak pernah melihat penampilanku tanpa rokok (Doc. FMT)
Tapi aku adalah orang yang kenyang dengan pahit getir kehidupan dan tidak jarang harus mengambil keputusan yang sulit.

Namun selama ini, aku nyaris tidak pernah menyesali keputusanku, karena sebelaum mengambil keputusan, aku terlebih dahulu mempertimbangkan baik buruknya dan selalu menggunakan fikiran yang jernih. Itulah yang kemudian melatari keputusanku untuk menjatuhkan 'talak tiga' terhadap benda bernama rokok ini.

Ada beberapa prinsip yang menjadi pertimbanganku sebelum memutuskan untuk berhenti total dari merokok. Pertama, aku tidak ingin sampai ada dokter yang memperingatkan atau melarangku merokok.

Kedua, harga rokok yang terus melonjak, menjadi pertimbangan ekonomisku, nggak mungkin lah aku membuang-buang uang dalam nominal besar hanya untuk 'asap'.

Ketiga, saat ini aku sudah memiliki seorang cucu yang masih berumur balita, tentu tidak baik bagi kesehatannya, bercengkerama dengannya sambil merokok, dan harga rokok bisa untuk 'mensubsidi' jajan dan susu bubuknya.

Dan yang terakhir, aku merasa dengan berhenti merokok, kondisi kesehatanku akan lebih baik dan daya tahn tubuhku akan lebih kuat, meski yang terakhir ini bukan pertimbangan utama.

Akhir tahun 2019 adalah waktu yang sudah kupersiapkan untuk 'mengeksekusi' keputusanku. Sampai tanggal 31 Desember 2019 jam 23.00, aku masih sempat menghabiskan tiga bungkus rokok kesukaanku.

Sebelum lonceng pergantian tahun baru 2020 berbunyi, sudah kubulatkan tekad untuk 'menceraikan' rokok dari kehidupanku. Kok bisa? Ya bisa lah, untuk mengeksekusi keputusan ini, aku memakai falsafah puasa wajib, hari ini kita masih leluasa makan minum tapi besooknya kita bisa stop total makan dan minum, dan ternyata falsafah itu terbukti manjur untuk diterapkan.

Teman-teman yang biasa melihatku sebagai perokok aktif yang nyaris seperti 'kereta api', seperti kubuat terkejut dengan keputusan ini. Dalam sebulan dua bulan pertama, sepertinya mereka belum yakin akan keputusanku ini. Inilah yang semakin mebulatkan tekadku untuk 'memutus silaturrahmi' dengan tembakau berbalut kertas sigaret ini.

Sebagai 'penguji keimanan' terhadap keputusanku ini, aku sengaja menyimpan sebungkus rokok di atas pintu masuk rumahku, tapi Alhamdulillah, jangankan untuk membuka dan mengisap isinya, menyentuh dan melihatnya pun aku sudah tidak tertarik lagi.

Gambar 4, Kebiasaan bertahun-tahun yang kahirnya bisa kutinggalkan (Doc. FMT)
Gambar 4, Kebiasaan bertahun-tahun yang kahirnya bisa kutinggalkan (Doc. FMT)
Bulan Nopember ini adalah bulan kesebelas aku men'talak tiga' rokok, dan aku bersyukur masih tetap istiqomah dengan keputusanku.

Apalagi sekarang aku sudah merasa nyaman tanpa rokok, bisa bercengkerama dengan cucu setiap ada kesempatan, dan 'budget' rokok bisa kualihkan untuk penganan dan susu buat cucu semata wayangku.

Kalau kondisi kesehatan mungkin tidak begitu berpengaruh, karena memang sebelumnya aku juga jarang sakit, hanya penambahan berat badan yang rada signifikan yang aku rasakan belakangan ini.

Aku sendiri belum yakin bahwa merokok dapat mengganggu kesehatan, tapi aku sudah membuktikan bahwa tanpa rokok ternyata lebih nyaman dan hemat, hehehe.

Jadi tanpa maksud menggurui atau mengajari teman-teman perokok yang kepingin berhenti merokok tapi terasa sulit, silahkan coba cara dan filosifiku ini.

Yakinlah, berhenti merokok tidak akan mengurangi kegantengan dan kemachoan kita, juga tidak menghalangi pergaulan kita, karena kita masih bisa berdampingan dengan rokok tanpa harus mengisapnya. Semoga bermanfaat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun