Rasanya tidak percaya, ketika kemarin membaca status dari sahabat Kompasianer Al A'la Zulfikar, R Gaper Sandy dan Herawati Suryanegara yang mengabarkan berita duka ini. Masih lekat dalam ingatanku, canda-canda segar beliau di akun media sosialnya, tapi semua kini tinggal kenangan yang pastinya tidak akan terlupakan. H. Tubagus Encep Kosasih, begitu nama lengkap pria murah senyum yang juga salah seorang pimpinan di Pondok Pesantren Turus, Pandeglang, Banten ini. Tapi saya lebih mengenalnya sebagai Tubagus Encep Encep, nama yang selalu disandangkannya di setiap tulisan beliau di Kompasiana maupun di media sosial.
Meski tidak pernah ketemu langsung dengan beliau, tapi begitu yakin bahwa beliau adalah sosok yang sangat baik. Senyum penuh kedamaian yang selalu terpancar dalam setiap foto yang beliau upload di media sosial, sudah cukup meyakinkan saya akan kesalehan beliau. Begitu juga kata-kata bijak yang selalu beliau unggah, adalah cerminan kecerdasan emosional dan kebijakan beliau. Saya begitu yakin, basic pendidikan agama Islam lah yang telah membentuk karakter beliau yang begiitu santun dan sangat menjaga etika.
Yang menjadi sangat terkesan adalah ketika beberapa tahun lalu beliau mengirim pesan lewat massenger "Assalamu'alaikum pak Fathan, sebenarnya saya malu untuk menyampaikan ini, tapi rasa rindu saya pada kopi Gayo membuat saya mengesampingkan rasa malu saya untuk meminta tolong kepada pak Fathan untuk mengirimkan sekedar pengobat rindu saya itu". Oh, betapa santunnya beliau mengungkapkan sesuatu, begitu trenyuh saya membacanya.
Sebagai seorang sahabat, dengan senang saya langsung merespon permintaan beliau seperti yang juga saya lakukan kepada sahabat-sahabat lainnya di luar daerah. Dan beberapa bungkus kopi spesialty arabika Gayo segera saya layangkan ke alamat beliau. Alhamdulillah beliau sangat menikmati kiriman saya itu. Dan setelah itu, tanpa diminta saya secara berkala mengirimkan bubuk penghilang kantuk yang menjadi ciri khas daerah kami itu untuk beliau.
Komunikasi kami lewat messengger terus berlanjut, saya sangat senang berkopmunikasi dengan beliau.ena banyak sekali ilmu agama yang kemudian bisa saya 'gali' dari beliau. Cara komunikasi beliau juga sangat enak, selalu diringi dengan canda-canda ringan yang mebuat saya tidak pernah bosan menyimak pesan-pesan beliau.
Kenangan 'indah' dari Abah.
Sebuah 'kejutan' kemudian saya terima menjelang lebaran tahun lalu, lewan pesan messengger, beliau memberitahu saya bahwa beliau sudah mengirimkan sesuatu untuk saya. Surprise, begitu yang terfikir di benak saya, karena saya tidak pernah meminta sesuatu kepada beliau. Dan hanya berselang satu hari, petugas pos sudah mengantarkan sebuah bungkusan ke rumah saya. Saking penasarannya, paket itu segera saya buka, dan sepotong baju batik asli khas Baduy lengkap dengan asesorisnya menjadi kenangan tak terlupakan dari beliau. Dengan bangga baju hadiah dari Abah, panggilan akrab saya untuk beliau, saya kenakan untuk sholat Idul Fitri 1438 Hijriyah setahun yang lalu. Seharian saya tidak melepas baju itu, begitu terkesannya, sampai bersilaturrahmi ke orang tua dan sanak famili pun, baju itu tetap saya kenakan.
Kini canda-canda Abah sudah tidak mungkin lagi saya baca di media sosial maupun lewat pesan messenger. Beliau sudah terlebih dahulu dipanggil menghadapNya meninggalkan kita semua yang entah kapan juga akan menyusulnya. Hanya air mata berbalut do'a mengiring kepergian beliau, dan baju batik Baduy itu akan selalu menjadi kenangan abadi bagi saya.
Selamat jalan Abah, semoga engkau tenang di alam sana, tak bisa lagi kukirim kopi untukmu, hanya sebait do'a yang selalu kupanjatkan untukmu. Semua sahabat Kompasianer dan keluarga besar Kompasiana ikut berduka, begitu juga keluarga besar Pondok Pesantren Turus tentu merasa kehilangan sosok 'ayah' mereka. Semoga keluarga yang beliau tinggalkan mendapatkan kesabaran dan ketabahan menghadapi musibah ini.