Syafi'i yang tidak punya keterampilan lain, terpaksa 'pulang kampung' ke ranah Minang bersama istri dan anak-anaknya yang masih kecil. Namun kepulangannya ke 'nagari' asalnya, ternyata tidak mampu mengubah nasib keluarganya, akhirnya dia memutuskan untuk kembali 'mengadu nasib' ke Tanah Gayo pada tahun 1983.
Berbekal 'ilmu' membuat mieso yang diperolehnya di tempatnya bekerja dulu ditambah modal dan peralatan seadanya, Syafi'i dibantu istrinya, Muslimat, mulai merintis usaha mieso secara kecil-kecilan di sebuah warung kecil yang disewanya.Â
Sambil berjualan, diapun mencoba untuk 'menyempurnakan' resep yang sudah didapatnya semasa dia bekerja dulu, dengan menambahkan 'bumbu rahasia', akhirnya mieso buatannya jadi lebih enak, sehingga mulai digemari pelanggan. "Bumbu rahasia" itu sebenarnya bukan sesuatu yang rahasia, dia hanya mengganti penyedap masakan dengan cairan gula pasir dan kaldu daging tanpa lemak.Â
Dia juga mulai 'berinovasi' dengan mengubah campuran mieso dari daging ayam ke daging sapi atau kerbau, ini yang membuat mieso buatannya berbeda dengan mieso lainnya.
Satu hal yang paling dijaganya adalah kualitas dari bahan-bahan pembuatan miesonya, baik mie maupun bumbunya, begitu juga dengan daging yang digunakan, hanya menggunakan daging kualitas satu dan nyaris tanpa campuran lemak. Itu yang membuat mieso buatannya mulai dikenal dan digemari banyak orang.Â
Karena mieso buatannya memang benar-benar mampu menggugah selera maka kantin yang mulai berkembang itupun dia namai dengan nama 'Samalero' yang artinya kurang lebih pengundang selera. Bukan mengada-ada, aroma khas mieso Samalero memang menggelitik orang untuk mencobanya, dan sekali mencoba, biasanya akan penasaran untuk mencicipinya lagi.
![Gambar 3. Kantin Samalero dengan jejeran kendaraan pengunjung (Doc. FMT)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/06/21/kantin-samalero-5b2b3166caf7db240c5240a2.jpg?t=o&v=555)
Berada di lintasan jalan menuju obyek wisata Danau Laut Tawar, lokasi kantin ini memang sangat strategis dan mudah diakses dari semua penjuru kota. Ini yang kemudian menjadi salah satu faktor maju pesatnya kantin mieso ini.
Meski kantinnya tidak pernah sepi dari pengunjung, Syafi'i yang sadar sebagai sebagai seorang perantau, sangat menghormati adat istiadat dan kearifan lokal setempat.Â
Itulah sebabnya dia selalu menutup kantinnya setiap hari Jumat, karena sebagai pemeluk agama Islam yang taat, dia menganggap bahwa bahwa hari Jumat adalah waktu untuk beribadah dan beristirahat, sejalan dengan syariat Islam yang kini diterapkan di daerah yang kini menjadi 'kampung halaman' keduanya ini. Kebijakan 'libur' pada hari Jumat ini bahkan sudah dia terapkan sejak dia merintis usahanya.
Dikelola oleh generasi kedua