Mohon tunggu...
Masduki Duryat
Masduki Duryat Mohon Tunggu... Dosen - Dosen
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Saya seorang praktisi pendidikan, berkepribadian menarik, terbuka dan berwawasan ke depan. Pendidikan menjadi concern saya, di samping tentang keagamaan dan politik kebijakan--khususnya di bidang pendidikan.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mahar Politik dan Implikasinya

25 Agustus 2022   17:58 Diperbarui: 25 Agustus 2022   18:04 334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

'MAHAR' POLITIK DAN IMPLIKASINYA

Oleh: Dr. H. Masduki Duryat, M. Pd.I*)

 

'Mahar' politik akan menjadi isu hangat lagi setiap kali menjelang Pilkada, walaupun sejatinya itu disinyalir sudah terjadi sejak lama. Isu 'mahar' politik ini juga semakin menegasikan bahwa Pilkada langsung tergolong high cost, nilainya bisa mencapai belasan hingga puluhan miliar untuk menjadi bupati dan walikota, serta mencapai puluhan hingga ratusan miliar untuk menjadi gubernur. 

Mahalnya cost Pilkada langsung berefek pada tindak korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah. Sejak Pilkada langsung diimplementasikan tahun 2004 hingga ahir 2013 saja, sudah 291 pimpinan daerah yang terjerat kasus korupsi; di antaranya 21 gubernur, 7 wakil gubernur, 156 bupati dan 41 walikota.

Sekarang berita tentang tertangkapnya kepala daerah---baik OTT mapun tidak---menjadi berita biasa dan tidak mengherankan di berbagai media masa.

Pro Kontra 'Mahar' Politik

Terma mahar sesungguhnya lekat dengan ajaran Islam terkait dengan pernikahan, oleh karena itu Zulkifli Hasan---Ketua Umum PAN---tidak sependapat dengan istilah ini. Mahar itu kalimat sakral, sehingga ini seolah-olah menyudutkan Islam, lebih tepat menggunakan kata suap politik, supaya lebih jelas tidak mengaburkan masalah. 

Di kita memang sering dan lebih suka menggunakan eufemisme---penghalusan bahasa---dan ini lebih berbahaya, misalnya kelaparan disebut rawan pangan, kurang gizi disebutnya bawah garis merah dan seterusnya.

'Mahar' politik pada pandangan pengamat dinilai biasa terjadi, namun jarang terungkap karena ada kesepahaman antara partai politik dengan bakal calon, dan ini tidak berlaku bagi calon yang berelektabilitas tinggi dan kapabel.

Ada yang berpandangan 'mahar' politik tidak ada, yang ada adalah dana operasional yang diberikan oleh kandidat sebagai bagian dari urunan bersama saat konsolidasi, tapi ada yang tidak menampik karena itu sebuah kewajaran. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun