Kekuasaan seringkali diterjemahkan untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya, melupakan tujuan sejatinya untuk mensejahterakan rakyat. Sehingga banyak 'penguasa' yang berujung dipenjara karena diawali oleh hasrat berkuasa dengan menghalalkan segala cara;Â
penguasa yang hanya berorientasi pada kemegahan serta opportunity untuk menambah kekayaan semata dengan cara apapun ditambah mekanisme pemilihan 'penguasa' yang cenderung terlalu mahal dalam pemilu langsung. Yang suka tidak suka merupakan langkah awal bagi 'penguasa' untuk melakukan tindak korupsi dengan melihat realitas-normatif gaji seorang 'penguasa' yang sangat terbatas.
Tawaran Solusi
Pemerintah dengan Pilkada serentak sesungguhnya ingin mengatasi persoalan high cost penyelenggaraan Pilkada, tetapi realitasnya tetap tidak menyelesaikan masalah. Sehingga pada era SBY ada wacana Pilkada dikembalikan dipilih oleh DPRD---tapi kemudian menimbulkan reaksi karena dianggap menciderai demokrasi dan menguntungkan Parpol yang memiliki anggota DPRD terbanyak---dan dianggap sebuah kemunduran.Â
Bahwa kemudian terjadi biaya tinggi dari Pilkada langsung itu adalah sebuah konsekuensi logis yang tidak bisa terhindarkan.
Pada tataran ini dengan mempertimbangkan manfaat dan mudharatnya, Pilkada langsung masih memiliki keunggulan untuk layak dipertahankan. Untuk menutupi kelemahan Pilkada langsung bisa dieliminir dengan regulasi yang ketat dan memiliki efek jera---baik bagi Parpol maupun oknum---sehingga mampu melahirkan pemimpin yang mumpuni.Â
Hal ini bisa dilakukan misalnya melalui; Pertama, larangan kepada Parpol untuk memungut dana dari kandidat. Kedua, menyediakan sumber dana kampanye dari APBD dan APBN. Ketiga, Pilkada dilakukan secara serentak---seperti sekarang ini. Keempat, penggunaan e-voting untuk pemungutan suara.
Seorang Arya Bima---walikota Bogor---menyampaikan solusi 2-3 tahun sebelum pemilihan sering berkunjung kepada masyarakat, bahkan menginap di rumah penduduk. Melelahkan memang, tetapi mampu menghemat anggaran lebih dari separuhnya.
Dengan solusi ini, Pilkada langsung akan mampu melahirkan pemimpin yang hebat. Sejarah bangsa-bangsa sudah membuktikan, kemajuan negara/daerah berawal dari pemimpin yang hebat.
Tawaran solusi ini juga---paling tidak---sekaligus bisa menjawab dan mengeliminir hasil survei Transparency International yang menunjukkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia berada di level 38 dari skala 0-100 pada 2018. Indeks mendekati 0 mengindikasikan masih terjadi banyak korupsi, sebaliknya makin mendekati 100 semakin bersih dari korupsi.Â
Dengan skor tersebut Indonesia berada di peringkat ke-89 dari 180 negara yang disurvei.