Usianya kini hampir memasuki 80 tahun. Tapi bukannya menapak lebih dekat ke New World kesejahteraan, malah justru semakin tenggelam ke dalam East Blue kemiskinan. Nahkoda kita lebih suka berlayar dalam lingkaran. Peta kesejahteraan entah hilang kemana, kompas keadilan yang kian berkarat, sampai logbook masa depan yang isinya hanya foto seremonial dan janji manis yang hadir tiap lima tahunan. Seperti halnya bajak laut amatir dari East Blue yang bahkan belum tahu cara membaca log pose kehidupan, rakyat terombang-ambing dalam kapal, nyaris tenggelam, tapi dipaksa tertawa karena disuguhkan hiburan TikTok dan subsidi beras.
Sedikit meminjam kalimat dari Nico Robin, "A Country is not defined by its government, but by its people". Institusi yang katanya menjaga ketertiban, lebih sering terlihat mengejar "bajak laut kecil" yang mencuri demi mengehentikan bunyi genderang perutnya, sembari menutup mata terhadap Tenryuubito. Mereka seolah-olah memakan buah iblis jenis Bureaucracy-Bureaucracy no Mi, yang membuat segala proses menjadi lambat, berbelit, dan perlahan mematikan harapan rakyat. Seorang Admiral Akainu mungkin ekstrem, tapi disini, hukum bahkan tak punya api. Â
Setiap lima tahun sekali kita disuguhkan beragam drama yang panjangnya sama seperti Arc Dressrosa. Di negeri ini, siapapun yang piawai memainkan "Cage of Influence"Â seperti Doflamingo, maka ia bisa menjadi pemenangnya. Rakyat hanya disuguhkan panggung sirkus penuh senyuman, tapi dibalik itu semua nasib mereka dikendalikan seperti halnya sebuah boneka.
Mereka yang kini berada di Mariejois tidak akan pernah tau menyebalkannya harga cabai yang kian naik hingga layanan BPJS yang harus antre. Seperti halnya Enel, mereka lebih sibuk menyeterum rakyat dengan regulasi latah yang sama sekali tidak berpihak kepada rakyat secara mayoritas. Akibatnya, rakyat harus hidup dalam kemiskinan yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Mereka tak lebih seperti halnya Wapol dari Drum Island, rakus, licik, dan tidak peduli hal lain selain dirinya sendiri.Â
Sementara itu di di ujung Timur negara ini, rakyat seperti halnya penduduk pulau Fishman. Mereka diperas, dirampas tanahnya, tapi dilarang marah. Mereka dijajah di tanahnya sendiri, oleh orang-orang yang mendaku ingin membangun peradaban dunia. Seperti halnya suku Shandia di Skypie yang menjaga tanah leluhurnya dengan penuh keberanian, suku-suku di Papua pun menjaga hutan adat mereka dari penjajahan modern, meski seringkali harus ditampar kenyataan bahwa mereka harus "kalah dari kekuasaan".Â
Delapan puluh tahun berlayar, namun Laugh Tale terasa masih sangat jauh. Harta karun kesejahteraan masih belum ditemukan dan Poneglyph keadilan masih terkubur dalam. Hari ini peta arah pelayaran masih ditentukan oleh kepentingan sponsor. Kita semua sedang menunggu Luffy sejati yang bisa berkaata dan membuktikan "Aku akan menjadi Raja Bajak Laut, dan takkan kubiarkan siapapun kelaparan di atas kapalku". Semoga saja di kemudian hari nanti, kita tidak hanya merdeka di kalender, tapi juga merdeka di meja makan. Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI