Mohon tunggu...
Masdim
Masdim Mohon Tunggu... -

Imigran dari Surga yang mengejawantahkan isi kepala melalui tulisan sederhana

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Keluar dari Menara Gading, Saatnya Mahasiswa Menjadi Jawaban Bagi Masyarakat

1 Juli 2025   15:02 Diperbarui: 15 Juli 2025   15:52 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Petani Membawa Hasil Panen (Sumber : Pixabay.com)

Imaji, narasi, cerita, dapat diakses oleh orang yang bersekolah maupun tidak bersekolah. Bahkan bagi anak kecil, dia mampu berasimilasi dengan lingkungannya melalui cerita. Contohnya pada saat anak kecil melihat superhero spiderman dan melihat bahwa spiderman memiliki struggle, keistimewaan, makna, hingga akhirnya memiliki tanggung jawab. Filosofi ilmu pengetahuan alam itu privillage, bagi orang-orang yang mampu mengenyam pendidikan formal. Sehingga bagi orang-orang yang beruntung memiliki keistimewaan mengenyam pendidikan formal, mereka memiliki tanggung jawab untuk menjadi "standar" dan "jawaban" bagi orang-orang yang tidak memiliki kesempatan tersebut, agar masyarakat tidak terjatuh dalam kebingungan, fanatisme, dan kekerasan.

Contoh sederhananya seperti ini. Saat kita dilanda covid beberapa tahun lalu, tidak mungkin semua masyarakat kita membuka jurnal paper dan melakukan penelitian tentang covid. Dilain sisi, masyarakat melihat di televisi bahwa Professor A dari kampus ternama mengatakan tentang covid menurut penelitiannya seperti ini dan itu. Terdapat "standar" yang tidak bisa dibeli disana terkait penelitiannya dengan menggunakan berbagai macam langkah dan tidak semua masyarakat mampu melakukannya. Karena si Professor A sudah mengatakan demikian, sebagai masyarakat minimal aku percaya dengan hasil penelitiannya.

Saat lebaran kemarin, aku pulang ke rumah nenek di salah satu pelosok Yogyakarta. Ada sebuah pengalaman yang membuatku cukup tertampar pada saat itu. Kejadiannya bermula ketika aku sedang menikmati Jalan Lintas Selatan Gunungkidul dan berbincang dengan salah satu penjual kopi pinggir jalan. Berawal dari obrolan yang sifatnya general, berujung dengan curhatan si penjual kopi. Dia bercerita bagaimana beberapa tahun lalu jalan ini dibangun dan tanah warga yang terdampak pembangunan jalan dibayar murah. Sebenarnya dia tidak ingin menjual tanah keluarganya, namun dia tidak punya pilihan. Baginya yang penting keluarganya aman dan dia tidak tahu caranya melawan. Jangankan untuk melawan, dia tahu bahwa dia punya hak saja dia tidak tahu.

Inilah yang kumaksud kenapa akhirnya bagi orang yang mampu mengakses pendidikan tinggi, harus bisa juga menjadi "jawaban" bagi masyarakat. Diluar sana, banyak sekali problem harian mereka yang tidak dapat mereka selesaikan. Disaat seperti itulah, seharusnya menara gading universitas tidak boleh menjadi penghalang bagi mahasiswa untuk hadir dan menjadi "jawaban" ditengah kebingungan masyarakat. Kepada siapa lagi mereka harus mengadukan nasibnya, kalau pemilik kursi-kursi yang didapatkan dari pajak rakyat sudah terlalu nyaman dan enggan untuk beranjak dari tempatnya, kemudian turun untuk menjadi "jawaban" bagi masyarakat.

Di dalam universitas dimana ilmu pengetahuan lahir, kita (mahasiswa) acap kali merasa yang paling pandai dari masyarakat pada umumnya. Dilain sisi, minim keterlibatan kita untuk dapat mentransfer ilmu pengetahuan kita kepada masyarakat. Contohnya  mahasiswa pertanian, kita diajarkan bagaimana mengelola pertanian dengan teknologi modern. Hal serupa masih jarang dirasakan oleh para petani di desa yang tidak memiliki akses untuk dapat mempelajari dan menggunakan teknologi tersebut. Jangankan untuk memikirkan teknologi terbaru, hari-hari mereka selalu dibayang-bayangi dengan murahnya harga jual sayur hingga ancaman gagal panen karena cuaca.

Petani Membawa Hasil Panen (Sumber : Pixabay.com)
Petani Membawa Hasil Panen (Sumber : Pixabay.com)

Di rumah nenekku, masyarakat menanam padi tanpa adanya irigasi. Mereka hanya menanam padi dengan cara mengandalkan air hujan. Saat kemarau tiba, tidak banyak jenis tanaman yang dapat mereka tanam apalagi sayur-sayuran. Biasanya para warga desa hanya menanam singkong, jagung, dan kacang tanah. Hal itu dilakukan karena tanaman tersebut memiliki ketahanan yang baik terhadap kondisi lingkungan yang kering. Hal tersebut padahal bisa disiasati dengan metode drip irrigation (irigasi tetes). Hal itu merupakan ilmu yang biasanya dipelajari di dalam rumpun studi pertanian dan teknik sipil. Namun karena mayoritas anak-anak disana hanya mengenyam pendidikan formal hingga SMP dan SMA, sampai hari ini "jawaban" atas problem harian masyarakat disana belum mampu terselesaikan.

Kini sebagai orang yang memiliki privillage untuk dapat mengakses pendidikan tingi, coba renungkan sejauh manakah ilmu pengetahuan yang kita dapatkan mampu menjadi "jawaban" bagi masyarakat. Sebaliknya, atau mungkin gedung megah penguruan tinggi itu telah mengilusi pikiran kita untuk dapat bersemayam ditengah masyarakat?. Menuju kesadaran masyarakat yang lebih maju dapat dimulai dengan menjadi "jawaban" atas ketidaktahuan mereka terhadap masalah yang menimpa mereka. Jadi, mau ambil peran atau hanya diam?

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun