Mohon tunggu...
semutmerah
semutmerah Mohon Tunggu... Psikolog - Bukan untuk dikritisi, tapi untuk direfleksikan

Serius tapi Santai | Psychedelic/Progressive/Experimental | Memayu Hayuning Bawana

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Leila Chudori dan Interpretasinya yang Tidak Adil

5 Maret 2021   18:26 Diperbarui: 5 Maret 2021   18:42 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Adilkah atau Masih Tidak Adil

Setiap manusia punya hak untuk berinterpretasi atas suatu karya, namun jika interpretasinya tidak adil apa yang bisa kita petik darinya? Apakah subjektif dan menjatuhkan satu sisi lainnya, adalah keadilan? Saya pikir tidak ada keadilan didalam konsep tersebut.

Dalam kolom tersebut, leila mencatut undang-undang tentang perkawinan berkonteks batas usia minimal, undang-undang tersebut berlaku bagi laki-laki maupun perempuan, yang artinya ia objektif, adil. 

Namun ada kepentingan apa ia mencatut undang-undang dalam mengkritisi suatu karya fiksi? Seakan-akan karya fiksi tersebut kisah nyata, benar adanya, benar pelakunya, benar lokasinya, dan harus diusut dibawa ke ranah hukum ke oengadilan dengan segena perangkat hukum hakim persidangan.. 

Bahkan sampai ia pun berani menyimpulkan bahwa kisah dalam novel tersebut adalah representasi atau gambaran dari peneguhan sikap patriarkis seperti yang ia katakan, "Peneguhan sikap patriarki di dalam sebagian masyarakat Indonesia yang lebih memperlakukan perempuan sebagai properti". Kalimat ini jelas kalimat politis, mempolitisir suatu hal dengan pendekatan interpretasi, karena mencatut "patriarki".

Dalam kolom tersebut, ia selalu membahas perempuan, anak perempuan, pernikahan anak perempuan, "korban" nya adalah perempuan, ketidakadilan terhadap perempuan, ketidakmanusiaan terhadap perempuan, sambil menyematkan istilah 'patriarki'. 

Apa maksud dan tujuan dari kolom Leila Chudori ini? Kolom tersebut ia bangun sedemikian rupa untuk kepentingan apa? Jika memang ia peduli dengan perempuan, mengapa narasinya sendiri selalu berbicara keterpurukan yang dialami perempuan? Itu sama saja dia sendiri yang melemahkan perempuan. 

Satu pertanyaan refleksi untuk konteks diatas : jika dalam novel tersebut korbannya adalah anak lelaki, pelakunya adalah ibunya, dengan alasan materialism atau perekonomian, apakah Leila juga sepeduli itu? Karena jika tidak, maka interpretasinya jelaslah tidak adil, kemanusiaannya pun juga tidak adil, dan tidak ada keadilan dalam konsep tersebut; memihak berdasarkan kepentingan.

 Analoginya seperti ini : jika di suatu daerah ada pernikahan usia dini, korban tidaklah selalu perempuan, karena yang menikahkan adalah orangtuanya, yang artinya korban adalah si anak itu sendiri, perempuan dan laki-laki, dan pelakunya jelaslah orangtua tersebut. 

Orangtua menikahkan anak perempuan/laki-lakinya terhadap perempuan/laki-laki yang lain, pasti ada sebab-musabab, entah itu perekonomian, hutang, atau ambisi kekayaan, atau karena ingin mengamankan anaknya dari pergaulan bebas diusia dewasa kelak, atau karena ketidaktahuannya bahwa anak adalah penerus yang harus dijaga dirawat dilindungi. Yang artinya, kita sebagai pihak ketiga yang ingin berinterpretasi, jangan subjektif dan mudah menilai tanpa mau tahu sebab-musabab suatu hal, hulu-hilir suatu kejadian. 

Narasi-narasi dalam kolom tersebut jelas narasi yang ngaco, penafsiran suatu karya yang sembarangan dan terlalu politis, apalagi melibatkan kata "patriarki" seakan-akan novel tersebut adalah gambaran dari desa-desa di Indonesia yang memakai sistem patriarki.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun