"Tanpa perubahan cara berpikir, pindah ibu kota hanya pindah masalah." Najwa Sihab
Â
Kutipan ini lantang terdengar bagi siapa pun yang pernah merasakan denyut kehidupan kota.Â
Meski Najwa Shihab mengucapkannya dalam konteks pemindahan ibu kota negara, gema pesannya juga terasa pada kisah urbanisasi, perpindahan orang dari desa ke kota yang penuh harapan, namun sering berujung pada tekanan.
Di balik gegap gempita lampu jalan, gedung tinggi, dan peluang kerja, kota menyimpan sisi gelapnya sendiri, kemacetan yang menyedot energi, udara yang sarat polusi, ruang hidup yang sempit, biaya hidup yang mencekik, dan kesepian yang sulit diucapkan. Hidup di kota adalah dua sisi mata uang yang terus berputar.
Â
Carl Gustav Jung pernah berdesah, "Berpikir itu sulit, itulah mengapa kebanyakan orang lebih suka menilai."Â Antara berpikir dan tidak berpikir, ada pemisah bernama pendidikan. Dalam gumaman Noam Chomsky, biaya kuliah yang tinggi bukanlah investasi, tapi pagar yang memisahkan si kaya dan si miskin dari akses pengetahuan.
Maka, wajar jika sebagian besar orang datang ke kota untuk menembus pagar itu, mencari ilmu, mencari kerja, dan mencari hidup yang lebih baik.
 Namun, apa yang terjadi ketika kota justru menekan warganya? Apakah kita hanya bisa pasrah?
Â