Belum lama ini Presiden Prabowo Subianto mengeluarkan kebijakan berupa intruksi melalui Inpres (Intruksi presiden) No.1 Tahun 2025 tentang "Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2025". Dalam draft salinan Inpres tertulis bahwa sebesar Rp 306,69 triliun, terdiri atas Rp 256,1 triliun dari anggaran kementerian/lembaga, Rp 50,59 triliun menjadi hitungan efisiensi yang dilakukan oleh pemerintah.
Kebijakan ini dilakukan sebagai upaya pemerintah dalam mengurangi belanja non-prioritas serta pengurangan dalam kegiatan-kegiatan seremonial, studi banding dan perjalanan dinas yang dilakukan oleh gubernur, bupati hingga wali kota. Pengurangan perjalanan dinas ini mencapai 50%. Bahkan tidak hanya itu para menteri dan lembaga-pun juga ikut terkena efisiensi.
Berkat kecanggihan dan perkembangan media informasi kebijakan ini secara cepat tersebar di media, baik media sosial ataupun media massa. Namun, tidak sedikit masyarakat terutama mahasiswa di Indonesia secara spontan beranggapan bahwa kebijakan ini adalah kebijakan yang sangat buruk. Padahal mereka tidak melakukan riset dan pengkajian terlebih dahulu atas kebijakan ini, hanya atas dasar viral dan fomo saja mereka ikut mempersoalkan bahkan memprovokasi kebijakan ini. Hanya berangkat dari fomo mereka bahkan menilai bahwa kebijakan ini justru akan menghambat dan memangkas anggaran pada sektor pendidikan.
Secara cepat isu tentang pemangkasan anggaran pendidikan menyebar luas terutama di sektor pendidikan perguruan tinggi apalagi setelah ada asumsi liar yang tersebar yang mengatakan bahwa akan adanya kenaikan biaya kuliah, pemotongan anggaran riset, beasiswa yang terancam dan tunjangan dosen yang terancam hilang serta operasional sekolah juga akan terkena imbasnya. Ditambah dengan penyebaran pamflet tentang isu pendidikan terkena efisiensi anggaran diberbagai media sosial seperti di instagram. Kebanyakan mahasiswa yang fomo, artinya mahasiswa yang hanya sekedar ikut-ikutan pasar dan algoritma media tanpa ada riset dan pengkajian ikut terlibat dalam menyebarluaskan pamflet tersebut. Atas dasar itulah dapat dikatakan bahwa mereka (mahasiswa fomo) terkena penggiringan opini semata.
Dalam menyikapi hal tersebut Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi dalam akun resmi instagram-nya membuat postingan sebuah ultimatum guna merespons isu pendidikan yang terkena efisiensi.
"Pendidikan adalah hak semua warga, tidak ada pemotongan alokasi anggaran pendidikan tinggi untuk beasiswa dan Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-K). Dalam melakukan efisiensi tidak ada pemotongan anggaran pendidikan tinggi untuk beasiswa dan KIP-Kuliah sehingga UKT tidak naik."
Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani juga ikut memberikan pernyataan agar PTN tidak menaikkan uang kuliah tunggal (UKT) mahasiswa setelah ada arahan efisiensi anggaran.
"Langkah ini (efisiensi anggaran) tidak boleh, saya ulangi, tidak boleh mempengaruhi keputusan perguruan tinggi mengenai UKT", ujarnya.
Sri Mulyani juga menegaskan bahwa program beasiswa dari pemerintah-pun lolos dari efisiensi. Ia turut menyatakan beasiswa yang diterima 40.030 orang juga bebas dari penghematan. Rinciannya, yakni LPDP, Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI) di bawah Kemendiktisantek, serta Beasiswa Indonesia Bangkit (BIB) di bawah Kementerian Agama. Bahkan dirinya juga akan memastikan bahwa gaji PNS tidak akan terkena pangkas dari efisiensi angaran ini. Ditambah dalam Inpres juga tidak ada sama sekali pasal dan ayat yang mengatakan bahwa adanya pemangkasan angaran untuk sektor pendidikan. Selengkapnya anda dapat mencari tahu dan mengakses tentang Inpres Nomor 1 Tahun 2025 tentang efisiensi anggaran ini.
Sudah sangat jelas dari pernyataan-pernyataan di atas bahwa sektor pendidikan, baik dari aspek UKT, beasiswa dan gaji tidak terkena dampak dari efisiensi anggaran. Oleh karena itu berbagai Isu dan asumsi tentang pendidikan yang menyebar luas di media sosial hanyalah sekedar isu dan asumi liar bahkan dapat dikatakan sebagai propaganda media dan penggiringan opini semata. Sungguh sangat disayangkan sebagian mahasiswa yang terbawa arus akan isu dan asumsi liar ini mengindikasikan bahwa mereka minim akan literasi. Mereka tidak sadar bahwa pemahaman mereka tentang riset, data dan pengkajian secara verifikatif masih kurang. Hanya atas dasar ikut-ikutan, seru-seruan, dan mengharapkan validasi publik saja yang mereka prioritaskan. Pada akhirnya mereka akan merasa sudah di jalan yang benar dan tepat karena sudah mewakili suara dan hak-hak pendidikan padahal secara data dan fakta justru mereka tidak tepat.