Mohon tunggu...
Marwan
Marwan Mohon Tunggu... Penulis - Analis sosial dan politik

Pembelajar abadi yang pernah belajar di FISIP.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dibalik Pidato "Pribumi"

23 Oktober 2017   23:44 Diperbarui: 24 Oktober 2017   00:12 1095
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

*meskipun sudah kadaluarsa karena di tulis beberapa hari yang lalu, saya posting saja supaya terdokumentasi :) 

Istilah pribumi menjadi santer diperbincangkan masyarakat Indonesia tidak hanya di media massa dan sosial melainkan telah menjadi obrolan warung kopi di masyarakat bawah. Sebenarnya wacana ini sudah pernah muncul namun hari ini menjadi salah satu diskursus utama setelah gubernur baru DKI Jakarta, Anis Baswedan, mengungkapkan istilah pribumi dalam pidato pelantikannya. Bagi beberapa kalangan penyebutan itu tidak pantas dilakukan tapi disisi lain justru mendapat apresiasi.

Saya tidak akan masuk pada perdebatan dua kelompok di atas. Saya hanya ingin melihat efek yang dihasilkan oleh pidato "pribumi" dalam lanskap sosial politik Indonesia sekarang dan kedepan terutama menjelang pemilihan presiden 2019.

Saya melihat pidato Gubernur DKI Jakarta Anis Baswedan bukanlah tanpa kalkulasi politik yang matang. Apalagi pidato itu dalam momentum yang sakral dan formal yang menandai awal kepemimpinannya. Dalam perspektif politik, selain menggambarkan agenda garis besar tentang apa yang akan dilakukan kedepan, pidato juga bisa dimaknai sebagai pesan politik baik kepada para pendukungnya maupun pada rival atau lawan politik yang akan dihadapi kedepan. Setidaknya pesan politik itu dapat dilihat sebagai berikut.

Pertama, istilah pribumi harus dilihat sebagai term ekonomi politik. Dalam mindset banyak masyarakat Indonesia, pribumi diasosiasikan sebagai kelompok ekonomi yang tertindas dimana mereka adalah mayoritas rakyat yang lahir di Indonesia. Bahwa selama ini ada diskriminasi ekonomi yang tampak jelas di Jakarta sebagai Ibu kota negera Indonesia. Ini terkait konsep pembangunan ekonomi yang tidak merata, dimana kekayaan terpusat pada segilintir orang sedangkan mayoritas warga Jakarta tidak mendapat distribusi yang adil dan merata. Apalagi pidato tersebut dikemas dalam peristiwa sejarah dimana kolonialisme menciptakan kemelaratan, kemudian imajinasi itu dibawa dalam konteks Jakarta hari ini.

Kedua, Pribumi sebagai bentuk kekuatan politik. Bekelindan dengan point pertama bahwa mayoritas masyarakat Indonesia yang diidentikan dengan pribumi terdiskriminasi harus dibangkitkan melawan simbol kolonialisme. Secara tersirat ini terkait dengan janji kampanye sang Gubernur untuk menghentikan proyek raksasa reklamasi teluk Jakarta yang sampai hari ini kontroversi.  Masalah ini cukup pelik yang perlu kehati-hatian serta dukungan politik yang kuat untuk menghentikannya. Apalagi penghentian reklamasi merupakan salah satu point penting dalam kampanye Anis-Sandi dalam hajatan demokrasi di Jakarta yang barusan usai ini. Sehingga reklamasi adalah pertaruhan nama baik Anis-Sandi di mata rakyat Jakarta.  

Setelah pidato "pribumi", serta merta menimbulkan dukungan besar dari masyarakat Indonesia terutama di media sosial. Dukungan itu sebagai bentuk kekuatan politik bagi Anis untuk melawan keangkuhan kapitalisme yang disimbolkan dengan reklamasi teluk Jakarta. Anis-Sandi sangat paham bahwa upaya penghentian reklamasi akan menemui banyak rintangan.

Anis memanfaatkan atmosfir politik yang masih begitu kuat dimana pidato "pribumi" akan menguatkan kritalisasi kelompok pendukungnya. Juga jika wacana ini terus digulirkan dan dikelolah dengan baik sebagai wacana diskriminasi ekonomi maka tentunya akan menarik kelompok masyarakat ekonomi marjinal ke pihak Anis-Sandi untuk melawan kekuatan besar pendukung reklamasi.

Ketiga, ini terkait dengan pemilihan presiden yang akan dihelat 2019 dua tahun kedepan. Opini yang terbangun  hari ini bahwa reklamasi adalah proyek yang didukung oleh pemerintah pusat. Apalagi setelah pemberian izin beberapa pulau dan pencabutan moratorium pembangunan pulau oleh pemerintah pusat semakin memperkuat keyakinan bahwa reklamasi identik dengan kesewenang-wenangan pemerintah pusat yang dipimpin oleh Jokowi dan korporasi yang berkuasa di atas reklamasi. Kesewenang-wenangan itu semakin tampak dengan video yang semakin viral bagaimana jurnalis dari salah satu televisi swasta dilarang meliput oleh pihak perusahaan reklamasi di atas perairan Indonesia.

Di satu sisi istilah "pribumi" yang diidentikan dengan penduduk asli yang tertindas atas konstruksi ekonomi yang ada, hadir sebagai anti thesis atas reklamasi. Akhirnya skema yang terbangung sekarang adalah pribumi yang tersingkir melawan reklamasi dan pendukungnya yang didalamnya ada Jokowi sebagai representasi dari pemerintah pusat.

Atau bisa dikerucutkan menjadi pribumi vs Jokowi bersama korporasi. Hal ini tidak bisa terhindarkan bahwa wacana ini bermuara pada segmentasi dukungan politik yang akan diarahkan pada perhelatan akbar, pemilihan presiden 2019. Jika ini dikelolah dengan baik maka segmen suara masyarakat yang termarjinal akan digiring masuk dalam kubu pribumi dimana disitulah kelompok Anis-Sandi dan partai politik pendukungnya berada (baca: Gerindra dan PKS) yang merupakan "musuh" politik rezim hari ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun