Mohon tunggu...
Inovasi

Masih Akuratkah Lingkaran Tahun Sebagai Penentu Usia Tanaman?

24 September 2017   22:16 Diperbarui: 25 September 2017   15:06 1481
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada saat musim hujan terbentuk lingkaran yang berwarna terang, sedangkan pada saat musim kemarau terbentuklh lingkaran dengan warna yang gelap. Di Indonesia, kita memiliki dua musim yaitu musim hujan dan musim kemarau yang berganti silih berganti setiap 6 bulan. Musim kemarau terjadi pada bulan April sampai September dan musim hujan terjadi sekitar September sampai Maret.

Terkadang di tempat- tempat tertentu terdapat sedikit perbedaan musim. Misalnya, di Indonesia saja, musim hujan di daerah Sumatera dan Kalimantan akan lebih panjang daripada di Nusa Tenggara. Sementara musim kemarau di Nusa Tenggara akan sedikit lebih panjang dari pada di Sumatera dan Kalimantan. Hal ini tetunya berpengaruh pada terbentuknya lingkar tahun. Namun, tidak terlalu salah untuk mengabaikan hal ini, sebab siklus dua musim tetap terjadi selama sekitar satu tahun.

Hal yang sebenarnya menjadi masalah utama, sepertinya sekarang pergantian musim tidak sedemikian teratur, bukan? Lantas apa sebenarnya yang menyebabkan hal tersebut terjadi? Bagaimana bisa terjadi dan apa dampaknya pada keakuratan lingkaran tahun pada tanaman?

Penyebabnya tidak lain dan tidak bukan adalah perubahan iklim. Pertumbuhan tanaman sangat tergantung pada iklim dan cuaca. Jika iklim dan cuaca kacau, maka pertumbuhan tanaman juga tidak akan beraturan. Entah semakin cepat atau semakin lambat.

Ternyata lagi-lagi penyebabnya adalah pemanasan global. Sejak abad 20, saat mesin- mesin industri dan kendaraan bermotor mulai banyak digunakan, suhu bumi terus meningkat. Ditambah lagi dengan efek rumah kaca dan penggunaan energi fosil terus menerus. Selain itu sekarang hampir setiap kendaraan, rumah dan perkantoran dilengkapi dengan pendingin udara sehingga penggunaan gas CFC meningkat tajam. Penggunaan pupuk kimia juga turut ambil bagian dalam proses "pengacauan" iklim. Peningkatan nitrogen di ladang pertanian memiliki pengaruh pada peningkatan panas di ladang pertanian. Perubahan iklim seperti ini terjadi di seluruh belahan dunia tak terkecuali di Indonesia.

Lektor Kepala Bidang Oseanografi Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Institut Pertanian Bogor Alan Koropitan, Sabtu (23/1/2016), mengatakan, tak ada keraguan lagi perubahan iklim telah terjadi. Dampaknya perlahan sehingga tak disadari.

Dampak perubahan iklim nyata terlihat, misalnya, dengan meningkatnya frekuensi dan kekuatan siklon tropis. Sebelumnya, topan itu tidak melanda negara tropis seperti Indonesia. Namun, karena menguat, ekor badai tropis, kini, bisa mencapai Indonesia. "Tahun 2012 terjadi badai Iggy, sumbernya di Australia yang dampaknya hingga ke perairan Indonesia," kata Alan seperti yang dilansir National Geographic Indonesia.

Menurut BMKG, pada tahun 2016 sekitar dua pertiga wilayah di Indonesia mengalami kemajuan musim hujan jika dibanding rata-rata selama tiga puluh tahun terakhir. Sedangkan pada tahun 2017, hampir setengah wilayah Indonesia diprediksi akan mengalami kemunduran musim hujan. Sungguh mencengangkan, bukan? Dalam setahun saja iklim berbeda drastis.

"Terus meningkatnya suhu dan polusi CO2 di bumi akan menggandakan kerugian akibat perubahan iklim hingga 3,2% dari Produk Domestik Bruto Global pada 2030. Dan negara-negara miskin, akan kehilangan Produk Domestik Bruto mereka rata-rata 11% per tahun pada 2030.

Dalam kurang dari 20 tahun, China akan menjadi negara yang paling banyak merugi akibat perubahan iklim dengan nilai melampaui US$1,2 triliun. Sementara ekonomi Amerika Serikat akan diperlamban hingga lebih dari 2% dari PDB dan India hingga lebih dari 5%."   (hijauku.com, 22 Sep. 17)

Semua kerugian itu, tak sebanding dengan biaya yang diperlukan untuk mengatasi dampak perubahan iklim. Biaya untuk mengurangi emisi, misalnya, hanya sebesar 0,5% dari PDB dunia dalam 10 tahun ke depan. Sementara nilai bantuan perubahan iklim di negara-negara berkembang hanya sebesar US$150 miliar per tahun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun