Oleh : Ma'ruf Amari, Lc. M.Si.
Lebih baik shalat sambil ingat makanan, atau makan sambil ingat shalat? Pertanyaan ini yang sering dilontarkan dalam berbagai kesempatan, saat disediakan jamuan makan lengkap, namun sudah masuk waktu shalat.Â
Melihat hidangan yang demikian lezat, membuat pikiran 'tidak tenang' ingin segera menyantapnya. Namun di sisi lain, waktu shalat sudah masuk dan semestinya kita melaksanakan shalat di awal waktu.
Shalat sambil mengingat makanan lezat tentu menjadi pengganggu kekhusyukan shalat kita. Inilah salah satu contoh gangguan dalam shalat. Agar tidak mengganggu konsentrasi shalat, maka pilihannya adalah makan terlebih dahulu.Â
Dari Anas bin Malik, Nabi saw bersabda, "Apabila makan malam sudah tersaji, maka dahulukanlah makan malam tersebut dari shalat maghrib. Dan janganlah kalian tergesa-gesa dari makan kalian." (HR. Bukhari no. 672 dan Muslim no. 557)
Imam Bukhari membuat bab tersendiri, yaitu "Bab Apabila Makanan Telah Dihidangkan dan Shalat Hendak Ditegakkan". Imam Muslim membuat bab tersendiri, yaitu "Bab Terlarangnya Mendahulukan Shalat Sedangkan Makan Malam Telah Tersaji dan Ingin Dimakan Pada Saat Itu Juga".
Berbagai Gangguan dalam Shalat dan Cara Menyikapinya
Pada saat seseorang melaksanakan shalat, tak jarang muncul berbagai kondisi yang menjadikan gangguan. Bagaimana kita harus menyikapi kondisi dan gangguan tersebut? Berikut saya kutipkan secara ringkas pendapat para ulama.
Problem Pertama : Muncul Lintasan Pikiran Saat Shalat
Nabi saw bersabda, "Apabila azan dikumandangkan, maka setan berpaling sambil kentut hingga dia tidak mendengar azan tersebut. Apabila azan selesai dikumandangkan, maka ia pun kembali. Apabila dikumandangkan iqamah, setan pun berpaling lagi. Apabila iqamah selesai dikumandangkan, setan pun kembali, ia akan melintas di antara seseorang dan nafsunya" (HR. Bukhari no. 608 dan Muslim no. 389).
Setan tidak rela manusia melaksanakan shalat dengan sempurna, maka mereka selalu berusaha menggoda. Salah satu bentuk godaan setan adalah dengan menghadirkan lintasan pikiran pada orang yang tengah shalat.Â
Terkadang pada saat seseorang melaksanakan shalat tiba-tiba muncul pikiran-pikiran di luar shalat, misalnya memikirkan pekerjaan yang belum selesai, atau memikirkan menu makanan yang akan disantap setelah shalat, atau mengingat kunci motor yang kelupaan diletakkan dimana, dan lain sebagainya.
Bahkan ada orang yang apabila kelupaan menaruh barang, ia shalat. Karena saat shalat menjadi ingat barang tadi ditaruh dimana. Padahal lintasan pikiran mengingat barang yang hilang saat shalat, adalah gangguan setan. Apabila terjadi lintasan pikiran seperti itu, hendaklah segera kembali untuk konsentrasi melaksanakan shalat dan tidak membatalkan shalatnya.
Termasuk ketika terjadi perubahan kondisi hati, pada awal memulai shalat dan pada tengah-tengah shalat. Misalnya seseorang mengawali shalatnya dengan niat ikhlas karena Allah, namun di tengah shalat muncul perasaan riya' ---ingin pamer kekhusyukan shalatnya, karena dilihat oleh calon istri atau calon mertua--- maka hal itu tidak membatalkan shalat.
Ibnu Rajab menjelaskan, "Bila pada awalnya perbuatan (shalat) tersebut karena Allah kemudian muncul niat riya', jika itu adalah lintasan pikiran kemudian dia singkirkan, maka para ulama sepakat hal itu tidak merusak amalnya. Namun apabila pikiran itu berkelanjutan, apakah membatalkan amalnya atau tidak, dan apakah tetap dibalas sesuai niat awal?"
"Para ulama berbeda pendapat sebagaimana yang disampaikan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Jarir Ath-Thabari, dan keduanya menguatkan pendapat bahwa amalnya tidak batal dan dibalas sesuai niat awal. Ini juga pendapat Hasan Al-Basri dan yang lainnya. (Ibnu Rajab, Jami'ul Ulum wal Hikam, Mu'assasatur Risalah cet 7 th 2001 juz 1 hal 82, 83)
Problem Kedua : Lupa Jumlah Raka'at yang Telah Dikerjakan
Tak jarang dijumpai, seseorang tengah melaksanakan shalat, namun ia lupa telah sampai raka'at ke berapa. Terlebih pada mereka yang telah lanjut usia dan pelupa.Â
Bagaimana menyikapinya? Bila lupa berapa raka'at yang telah dikerjakan, maka caranya adalah dengan mengambil raka'at yang lebih sedikit, sebagaimana yang diajarkan Rasulullah saw.
Rasulullah saw. bersabda, 'Apabila salah seorang kalian lupa dalam shalatnya dan tidak tahu berapa raka'at yang sudah dilaksankan tiga atau empat raka'at maka buanglah keragu-raguan dan hendaklah ia laksanakan yang diyakini (yaitu raka'at yang lebih kecil) kemudian sujud dua kali sebelum salam.'" (HR. Muslim no 571 dari Abu Sa'id Al-Khudri).
Sebagai contoh, ragu-ragu apakah sudah empat raka'at atau baru tiga raka'at, maka harus diputuskan baru tiga raka'at, maka ia menambah satu raka'at lagi ---dan setelah itu sujud dua kali sebelum salam. Intinya, mengambil jumlah yang lebih kecil atau sedikit dalam keraguan tersebut.
Problem Ketiga : Terjadi Peristiwa Saat Shalat
Terkadang, saat seseorang melaksanakan shalat, terjadi peristiwa tertentu yang ia lihat secara nyata, atau ia khawatirkan akan membahayakan. Maka, ada tiga sikap dalam menghadapi peristiwa seperti itu.
- Tidak merespon, jika peristiwa tersebut tidak mengganggu
- Merespon dengan  tanpa memutus (membatalkan) shalat, apabila mengganggu, dan meresponnya tidak menimbulkan banyak gerakan
- Merespon dengan memutus (membatalkan) shalat, jika kejadian tersebut membahayakan jiwa
Dalam Kitab Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyah dinyatakan, "Kesepakatan para ulama' tidak boleh memutus atau menghentikan ibadah wajib setelah memulainya tanpa alasan yang dibenarkan oleh syari'at.Â
Kerena memutus/menghentikannya tanpa alasan yang dibenarkan oleh syariat merupakan bentuk main-main yang mengabaikan kehormatan ibadah. (Kementrian Wakaf dan Urusan Keislaman Kuwait, Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Darus Shafwah, cet 1 juz 34 hal 51)
Dalam Hasyiyah Ibnu Abidin --kitab madzhab Hanafi-- dinyatakan, "Dinukil dari karya penulis kitab Al-Bahr di catatan kaki, bahwa membatalkan shalat hukumnya haram, mubah, mustahab, dan wajib.Â
Haram jika tanpa udzur, mubah jika untuk menyelamatkan harta, dianjurkan jika hendak menyempurnakan shalat, dan wajib untuk menyelamatkan jiwa". (Ibnu Abidin, Raddul Mukhtar, Hasyiyah Ibnu Abidin, Darul Fikr, cet 2 th 1992, juz 2 hal 52).
Kondisi yang menyebabkan wajib memutus (membatalkan) shalat, misalnya mendengar teriakan orang yang minta tolong dengan suasana darurat, menyaksikan seseorang yang tenggelam, terbakar dan yang semacamnya, menyaksikan orang yang diterkam binatang, dan peristiwa lain yang membahayakan jiwa manusia.Â
Termasuk menyaksikan orang yang dianiaya dan mampu untuk menolongnya, sekalipun tengah melaksanakan shalat wajib, karena "li anna ada-a haqqillahi Ta'ala mubni 'ala al-musamahah" ---pelaksanakan hak Allah didasarkan pada kelonggaran.
Kondisi yang menyebabkan boleh memutus (membatalkan) shalat, misalnya khawatir terjadi pencurian, atau karena menahan buang angin atau buang air yang sudah mendesak.Â
Menjawab panggilan orang tua, boleh membatalkan shalat pada shalat sunnah. Bila dalam shalat wajib, tidak boleh memutus shalatnya kecuali untuk urusan yang dharurat atau yang membahayakan. (Lihat: Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuh, Darul Fikr, cet 4/12 juz 2 hal 1054).
Wallahu a'lam bish-shawab.
Daftar Pustaka
Kitab Sahih Bukhari
Kitab Sahih Muslim
Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Darus Shafwah
Ibnu Rajab, Jami'ul Ulum wal Hikam, Mu'assasah Ar-Risalah, 2001
Ibnu Abidin, Raddul Mukhtar, Hasyiyah Ibnu Abidin, Darul Fikr, 1992
Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuh, Darul Fikr
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI