Mohon tunggu...
Makruf Amari Lc MSi
Makruf Amari Lc MSi Mohon Tunggu... Pengasuh Sekolah Fiqih (SELFI) Yogyakarta

Alumni Mu'allimin Muhammadiyah Yogyakarta, melanjutkan S1 di LIPIA Jakarta dan S2 di UII Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Shalat Sambil Ingat Makan, Atau Makan Sambil Ingat Shalat?

20 April 2020   11:09 Diperbarui: 20 April 2020   11:13 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto : www.majalahnabawi.com

Terkadang, saat seseorang melaksanakan shalat, terjadi peristiwa tertentu yang ia lihat secara nyata, atau ia khawatirkan akan membahayakan. Maka, ada tiga sikap dalam menghadapi peristiwa seperti itu.

  • Tidak merespon, jika peristiwa tersebut tidak mengganggu
  • Merespon dengan  tanpa memutus (membatalkan) shalat, apabila mengganggu, dan meresponnya tidak menimbulkan banyak gerakan
  • Merespon dengan memutus (membatalkan) shalat, jika kejadian tersebut membahayakan jiwa

Dalam Kitab Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyah dinyatakan, "Kesepakatan para ulama' tidak boleh memutus atau menghentikan ibadah wajib setelah memulainya tanpa alasan yang dibenarkan oleh syari'at. 

Kerena memutus/menghentikannya tanpa alasan yang dibenarkan oleh syariat merupakan bentuk main-main yang mengabaikan kehormatan ibadah. (Kementrian Wakaf dan Urusan Keislaman Kuwait, Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Darus Shafwah, cet 1 juz 34 hal 51)

Dalam Hasyiyah Ibnu Abidin --kitab madzhab Hanafi-- dinyatakan, "Dinukil dari karya penulis kitab Al-Bahr di catatan kaki, bahwa membatalkan shalat hukumnya haram, mubah, mustahab, dan wajib. 

Haram jika tanpa udzur, mubah jika untuk menyelamatkan harta, dianjurkan jika hendak menyempurnakan shalat, dan wajib untuk menyelamatkan jiwa". (Ibnu Abidin, Raddul Mukhtar, Hasyiyah Ibnu Abidin, Darul Fikr, cet 2 th 1992, juz 2 hal 52).

Kondisi yang menyebabkan wajib memutus (membatalkan) shalat, misalnya mendengar teriakan orang yang minta tolong dengan suasana darurat, menyaksikan seseorang yang tenggelam, terbakar dan yang semacamnya, menyaksikan orang yang diterkam binatang, dan peristiwa lain yang membahayakan jiwa manusia. 

Termasuk menyaksikan orang yang dianiaya dan mampu untuk menolongnya, sekalipun tengah melaksanakan shalat wajib, karena "li anna ada-a haqqillahi Ta'ala mubni 'ala al-musamahah" ---pelaksanakan hak Allah didasarkan pada kelonggaran.

Kondisi yang menyebabkan boleh memutus (membatalkan) shalat, misalnya khawatir terjadi pencurian, atau karena menahan buang angin atau buang air yang sudah mendesak. 

Menjawab panggilan orang tua, boleh membatalkan shalat pada shalat sunnah. Bila dalam shalat wajib, tidak boleh memutus shalatnya kecuali untuk urusan yang dharurat atau yang membahayakan. (Lihat: Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuh, Darul Fikr, cet 4/12 juz 2 hal 1054).

Wallahu a'lam bish-shawab.

Daftar Pustaka

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun