Mohon tunggu...
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris Mohon Tunggu... Penulis - Menikmati menulis dan membaca dalam bertualang makna kehidupan menuju kebijaksanaan abadi.

Penulis, Pembaca, Petualang, dan Pencari Makna.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pendidikan Humanis (10): Observasi Sekolah, Sadarnya Pembelajaran

9 September 2021   04:05 Diperbarui: 9 September 2021   04:15 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku #The_Educatorship, 2016. 

Pendidikan identik dengan pengetahuan yang berpusat di kepala setiap insan. Celakanya, kepala tidak mewakili pendidikan yang humanis. Saatnya pendidikan membuka kesadaran akan nurani (heart) dan kepedulian (hand) pada kehidupan nyata.

Pagi itu anak-anak dari salah satu kelas di deretan lorong gedung lama sedang berjalan-jalan melihat keadaan sekolah. Anak-anak di kelas itu begitu asyik mencermati segala hal yang ada di sekolah mereka. Dari bangunan, lingkungan, serta fasilitas tak luput dari pengamatan anak-anak itu. Beberapa anak tampak sesekali berhenti, mencoba mengamati sesuatu yang menarik perhatian mereka, dan tak lama kemudian mencatat sesuatu di buku mereka.

Anak-anak tampak asyik melakukan aktivitas observasi di pagi hari itu. Banyak hal yang mereka catat sebagai data observasi mereka. Mereka mencoba belajar untuk cermat dan teliti dalam mengamati sesuatu yang menjadi obyek pengamatan mereka dalam dinamika pembelajaran itu. Rupanya anak-anak itu tidak sembarang mengamati obyek yang ada di sekolah tetapi mereka memiliki kerangka pikir atas obyek observasi mereka, yakni hal apa saja yang tidak logis yang ada di sekolah itu?

Materi observasi ini sesungguhnya dapat dijelaskan di dalam kelas saja dan tidak membutuhkan waktu yang cukup lama sehingga guru bisa segera beralih ke materi yang lain. Akan tetapi, sang guru tidak memilih cara itu, justru memilih cara lain di mana anak-anak merasakan terlebih dahulu seperti apa observasi itu. Dan, lingkungan sekolah dijadikan sebagai media untuk memahami observasi itu.

Pembelajaran Kontekstual

Setelah beberapa lama anak-anak itu melakukan observasi, tampak mereka sibuk menata kembali catatan mereka sehingga mudah untuk dipahami. Akhirnya, diskusi kelompok besar pun dimulai di mana mereka akan menyampaikan hal apa saja yang tidak logis yang ada di sekolah mereka beserta alasannya.

Tampak seorang anak yang duduk di bagian belakang begitu antusias ingin memulai diskusi pagi itu. Menurut dia, bangunan gedung baru sekolah mererka yang tingkat tiga itu tidak logis. Mengapa? Alasannya adalah gedung itu dibuat dengan struktur bangunan eropa yang berupa kotak-kotak.

Tampak anak itu berusaha memberi alasan atas hasil pengamatannya untuk meyakinkan teman-temannya dan juga sang guru. Menurut logika dia, gedung dengan model kotak-kotak tidak cocok untuk bangunan di iklim tropis yang hanya punya dua musim, yakni hujan dan kemarau. Tembok gedung akan mudah rusak terkena panas dan hujan. Beda kalau gedung itu memiliki atap layaknya rumah-rumah yang ada di mana tembok akan terlindung dari hujan dan panas.

Seorang anak yang duduk di dekat jendela itu pun tak mau kalah untuk menyampaikan hasil pengamatannya. Menurut dia, lapangan sepak bola di sekolahnya itu tidak logis di mana lapangan sepak bola arah gawangnya barat-timur. Akibatnya, kalau olahraga pagi pemain yang ada di sebelah barat akan terganggu oleh sinar matahari yang muncul dari timur. Dan, ketika anak-anak ekstra sepakbola sedang berlatih di sore hari maka tim yang ada di sebelah timur akan terganggu karena matahari ada di sebelah barat menjelang terbenam. Dia menambahkan bahwa seharusnya lapangan sepakbola arahnya utara-selatan.

Seorang anak yang lain pun segera tunjuk jari saat temannya selesai menyampaikan hasil penelitiannya. Anak itu tampak sudah tak sabar ingin menyampaikan hasil pengamatannya. Dengan suara yang lantang anak itu berkata,"Teman-teman dan Pak guru, menurut saya tulisan-tulisan di sekolah ini banyak yang tidak logis. Kita bisa melihat tulisan di parkiran sepeda yang tertulis "Yang Membawa Sepeda Harap Dikunci", salahkan?" Sejenak kelas menjadi hening dan tampak seisi kelas itu mulai memikirkan tulisan itu.

Menurut anak itu, tulisan di parkiran sepeda itu tidak logis. Dia dengan semangat mencoba menjelaskan kepada teman-temannya bahwa jika mengikuti tulisan itu maka yang dikunci adalah siswa yang membawa sepeda, padahal yang dimaksud adalah sepedanya. Dia berusaha memberi solusi atas tulisan itu, yakni seharusnya ditulis "Sepeda, Harap Dikunci".

Ternyata siswa lain ada juga yang mencermati tulisan-tulisan seperti itu. Dia mengamati di WC di mana ada tertulis "Yang Kencing Harap Disiram". Kalau itu dicerna sungguh-sungguh maka siapa saja yang kencing di tempat itu akan disiram. Bahaya bukan kalau itu yang terjadi? Kelas pun penuh canda tawa tatkala diskusi tentang tulisan-tulisan yang tidak logis itu dibahas. Mereka begitu menikmati pembicaraan itu dan menjadi sadar bahwa selama ini tidak pernah berpikir sejauh itu.

Sebuah pembelajaran yang kontekstual coba diperkenalkan pada anak-anak. Sebuah materi yang tampaknya akan banyak dibanjiri dengan teori-teori dalam observasi justru menjadi sebuah pembelajaran yang menarik, praktis dan sesuai konteks lingkungannya. Pembelajaran kontekstual ini telah membantu membuka kesadaran anak-anak akan lingkungan dan kesehariannya.

Implementasi Pada Hidup

Proses evaluasi telah dilewati oleh anak-anak melalui praktik langsung dan akhirnya diperkaya dengan diskusi dan masukan dari sang guru. Anak-anak menjadi tahu dan sadar akan esensi dari observasi dan bagaimana cara melakukannya. Mungkin sebagai materi pembelajaran seperti yang digariskan kurikulum sudah cukup baik. Bahkan pembelajaran ini telah menggunakan metode yang baik, tidak sekedar ceramah belaka.

Akan tetapi, sebenarnya masih ada satu tahapan lagi untuk semakin memaknai pembelajaran itu. Kita seharusnya menyadari sungguh bahwa esensi dari pembelajaran itu bukan hanya sekedar transfer ilmu pengetahuan atau juga keterampilan tetapi mengantar anak didik pada sebuah implementasi nyata dalam hidup. Hal ini selalu mengingatkan guru bahwa pembelajaran bukan hanya untuk menyiapkan anak menjawab soal-soal ulangan belaka. Kalau sekolah hanya menjadi tempat untuk lulus ujian belaka, lalu apa bedanya sekolah dengan lembaga bimbingan belajar atau les?

Sekolah menjadi media yang baik bagi anak-anak untuk belajar tentang kehidupan itu sendiri lewat pembelajaran yang didesain guru. Oleh karena itu, pembelajaran hendaknya mampu menghubungkan apa yang dipelajari anak-anak dengan kehidupan nyata. Ketika anak-anak belajar tentang observasi dengan segala dinamikanya, apa manfaatnya untuk hidup mereka?

Lewat sebuah dinamika "kartu" di bagian akhir pembelajaran menjadi sebuah arena refleksi yang sederhana dan efektif. Masing-masing anak mendapat dua buah kartu (dari kertas polos yang dipotong-potong seukuran kartu). Kartu pertama yang  berwarna biru digunakan untuk menuangkan apa yang mereka dapat dari pembelajaran itu. Kartu kedua yang berwarna hijau digunakan untuk menuangkan manfaatnya bagi hidup mereka saat itu dan kelak. Anak-anak boleh menulis atau menggambar di kartu itu.

Setelah semuanya selesai, tiba saatnya mereka menempel kartu-kartu itu di tembok kelas. Akan tampak begitu indah tatkala semua kartu itu sudah tertempel layaknya sebuah graffiti kota di mana ada gambar dan juga tulisan. Sang guru dan para siswa sejenak mencoba melihat graffiti itu.

Sebuah harapan besar bahwa akan lahir manusia-manusia reflektif dari bangku sekolah. Grafiti itu menjadi sebuah memori tersendiri akan kenangan proses pembelajaran. Mungkin graffiti itu bisa usang ditelan waktu dan keadaan. Tetapi, harapan besar bahwa graffiti abadi akan sebuah refleksi kehidupan akan tetap tergores di sanubari anak-anak itu. Semoga.

Dok. Pribadi.
Dok. Pribadi.
@ Pendidikan Humanis: diambil dari sebuah buku yang berjudul #The_Educatorship, Seni Memanusiakan Wajah Pendidikan, yang ditulis oleh FX Aris Wahyu Prasetyo, 2016, PT Kanisius, Yogyakarta. Nilai-nilai humanis yang sangat kental dalam kisah-kisah yang tertuang dalam buku ini patut untuk dibagikan ulang sebagai inspirasi dan motivasi mengembangkan pendidikan dewasa ini. Pendidikan sejatinya memanusiakan manusia menuju taraf insani, maka mari mengembangkan humanisme dalam dunia pendidikan secara kontekstual, bermakna, dan reflektif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun