Mohon tunggu...
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris Mohon Tunggu... Penulis - Menikmati menulis dan membaca dalam bertualang makna kehidupan menuju kebijaksanaan abadi.

Penulis, Pembaca, Petualang, dan Pencari Makna.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pendidikan Humanis (4): Nonton Televisi, Analisisnya Pembelajaran

2 September 2021   04:05 Diperbarui: 2 September 2021   04:06 471
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku #The_Educatorship, 2016.

Ada begitu banyak sumber belajar di sekitar kita yang sangat baik dipakai sebagai media pembelajaran daripada sekedar menggunakan buku teks. Saatnya pendidikan sadar lingkungan dan sadar tujuan pendidikan yang sesungguhnya.

Sepuluh menit sebelum bel tanda usai pelajaran berbunyi, sang guru berpesan kepada para siswa agar tidak lupa untuk nonton televisi karena banyak acara televisi yang menarik. 

Tentunya pesan sang guru sangat bertentangan dengan pesan para orang tua mereka yang melarang anaknya nonton televisi karena menganggu belajar. Ada apakah dengan sang guru?

Anak-anak di kelas itu diharapkan dalam seminggu ke depan untuk menonton acara televisi. Rupanya tidak hanya berhenti sampai di situ karena mereka juga harus mencermati secara kritis acara-acara televisi yang ada. 

Anak-anak diberi kesempatan untuk memilih sendiri segmen-segmen apa yang akan dipilih dan selanjutnya mereka kritisi. 

Ada begitu banyak segmen di acara televisi, seperti iklan, kuis, film, olah raga, sinetron, reality show, dan masih banyak yang lain. Senyum anak-anak begitu mengembang karena mereka mendapat pekerjaan rumah yang lain dari biasanya. 

Bukan disuruh mengerjakan soal-soal tetapi malah disuruh nonton televisi. Tentunya sangat menyenangkan bagi mereka. 

Akan tetapi, satu minggu ini pun akan terasa berbeda juga cara menonton mereka dari biasanya karena mereka menonoton televisi sambil mencatat hal-hal yang dirasa penting sebagai bahan analisis.

 Berbagi dan Mendengarkan

Tiba waktunya anak-anak itu berjumpa lagi dengan sang guru dalam sebuah pembelajaran dengan tema "Ayo Nonton Televisi". Begitulah tema yang sang guru tulis cukup besar di papan tulis. 

Tampak tidak menakutkan dan memberatkan anak didik tatkala membaca tema pembelajaran siang itu. Rupanya ini membawa efek psikologis yang baik bagi anak-anak dalam belajar. 

Beda halnya kalau topik yang ditulis "Analisis Media" atau "Pengaruh Media Bagi Masyarakat" tampak begitu hebat dan mengerikan seolah-olah anak-anak akan belajar sesuatu yang berat.

Kata "Analisis" tampak begitu berbobot dan menakutkan. Apalagi mereka belajar tepat jam terakhir maka pembelajaran serasa neraka bagi mereka.

Tak lama setelah sang guru berbicara dengan anak-anak di awal pembelajaran siang itu, tampak anak-anak itu mulai berbagi cerita dalam pasangan. Bahkan mereka boleh mencari tempat yang nyaman, seperti di bawah pohon yang ada di halaman sekolah, di pinggir lapangan sepakbola yang rindang dengan pepohonan, di lorong, atau di perpustakaan. 

Anak-anak benar-benar dibuat nyaman dalam pembelajaran siang itu. Jam terakhir pembelajaran tidak dirasakan sebagai puncak kelelahan dan kantuk tetapi justru sebagai kesempatan yang menyenangkan dan penuh semangat.

Pembentukan pasangan sesuai nomor urut presensi (seperti nomor 1 dan 2, 3 dan 4, 5 dan 6, dan seterusnya) memungkinkan pasangan itu bisa sama segmennya atau malah beda jauh. Tampak pasangan Lia dan Lita yang ada di bawah pohon depan kelas begitu asyik berbagi cerita tentang sinetron yang mereka analisis. 

Ternyata mereka sama-sama menganalisis tentang sinetron sehingga tampak begitu cocok dan meriah sekali. Beda halnya dengan Indra dan Indira yang sangat beda sekali. Indra mencermati acara talk show  sedangkan Indira mencermati acara yang bernuansa horor. Topik yang sangat kontras antara Indra dan Indira.

Pembelajaran ini menjadi sebuah pembentukan karakter masing-masing anak untuk bisa berbagi dan sekaligus mendengarkan orang lain secara baik. 

Ada rasa saling menghargai satu sama lain yang coba ditanamkan dalam dinamika ini. Kesamaan dan perbedaan adalah sebuah keunikan hidup. Manusia mesti menerima itu sebagai sebuah kenyataan, bukan justru saling melawan satu sama lain. 

Acara televisi itu telah menjadi media yang baik untuk mengajarkan nilai-nilai kehidupan tentang berbagi dan mendengarkan.

Anak-anak mulai disadarkan akan sebuah metode belajar yang baik bahwa belajar tidak hanya dipahami sendiri tetapi akan menjadi lebih meresap dan mendalam tatkala mereka bisa membagikan kepada orang lain. 

Learning by doing dan learning by telling membawa anak pada sebuah kesempatan untuk mengaktualisasikan apa yang mereka dapat. Hal ini sekaligus membangun sebuah kepedulian bagi sesamanya.

Kesadaran Diri

Setelah waktu yang ditentukan untuk saling berbagi itu selesai, anak-anak kembali masuk ke kelas. Dan sang guru pun tampak senang melihat anak-anak itu masih tampak antusias untuk belajar. Sang guru pun membagikan satu lembar kertas putih polos untuk masing-masing anak. Untuk apakah kertas itu?

Ternyata anak-anak akan membuat sebuah karikatur atau gambar yang mewakili kritik mereka atas acara televisi yang sudah mereka tonton dan cermati. Sang guru mencoba menekankan bahwa bukan bagusnya gambar yang terpenting tetapi isi dari kritik itu sendiri yang mesti menjadi fokus lewat gambar. 

Anak-anak tampak asyik menggambar dan sesekali menyisipi tulisan-tulisan tertentu untuk lebih menegaskan kritik mereka.

Ada seorang siswa yang tampak begitu menekankan efek negatif film kartun bagi anak-anak. Dia membuat gambar televisi dengan sebuah adegan film kartun di mana adegan itu sebenarnya tidak baik dilakukan anak kecil. 

Dia juga membuat gambar di mana ada anak kecil yang melakukan adegan itu persis sama dengan yang ada dalam film kartun itu. Dan dia pun membuat sebuah tulisan "Begitu Banyak Kekartunan Anak". 

Rupanya siswa itu mencoba menyoroti di mana film kartun memiliki pengaruh yang hebat terhadap perilaku anak-anak tanpa mengenal baik atau buruk.

Siswa yang lain tampak menggambar sebuah kotak sampah namun di dalamnya berisi begitu banyak gambar artis yang disertai namanya. Apakah maksud dari gambar itu? 

Rupanya siswa ini mencermati acara-acara infotainment yang begitu banyak jenisnya di berbagai saluran televisi. Menurut dia, banyak artis sekarang tidak memiliki moral yang baik dengan berbagai kasus yang melanda para artis sehingga dia menganalogikan artis-artis itu dengan sampah.

Masih ada begitu banyak karikatur yang dibuat anak-anak siang itu.

Sebuah kesadaran coba dibangun bahwa lewat acara televisi anak-anak dapat mengasah pikiran kritisnya, nuraninya, dan sikapnya sehingga mulai menyadari mana yang baik dan mana yang buruk. Proses ini telah mencoba menempatkan pendidikan sungguh-sungguh sebagai proses memanusiakan manusia menuju taraf insani.

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi
@ Pendidikan Humanis: diambil dari sebuah buku yang berjudul #The_Educatorship, Seni Memanusiakan Wajah Pendidikan, yang ditulis oleh FX Aris Wahyu Prasetyo, 2016, PT Kanisius, Yogyakarta. Nilai-nilai humanis yang sangat kental dalam kisah-kisah yang tertuang dalam buku ini patut untuk dibagikan ulang sebagai inspirasi dan motivasi mengembangkan pendidikan dewasa ini. Pendidikan sejatinya memanusiakan manusia menuju taraf insani, maka mari mengembangkan humanisme dalam dunia pendidikan secara kontekstual, bermakna, dan reflektif. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun