Mohon tunggu...
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris Mohon Tunggu... Penulis - Menikmati menulis dan membaca dalam bertualang makna kehidupan menuju kebijaksanaan abadi.

Penulis, Pembaca, Petualang, dan Pencari Makna.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Setelah Senja (43): Lama Memberi Kejut

7 Maret 2021   04:04 Diperbarui: 7 Maret 2021   06:29 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. dlpng.com

Kata hati tersembunyi di kedalaman sanubari yang kadangkala tak terdengar oleh telinga, hanya waktu yang mampu menguak semuanya dalam peristiwa. Ketika dua hati bersatu adalah hukum semesta tentang kenyamanan dan keselarasan dalam memaknai kehidupan.

Aku hidup di kenyataan yang cukup membahagiakan untukku. Coba lihat, hari menyapaku dengan langit yang berseri. Aku duduk di teras rumah, saat aku baru saja beristirahat setelah mengayuh sepeda unguku pagi tadi. Kuambil buku yang baru kubeli semalam, yang kiranya akan kuhadiahkan untuk sahabatku, Nat, dua hari lagi. Mataku membaca dan pikiranku mencoba memahami isinya. Aku tidak tahu mengapa selera buku kami bisa sangat berbeda, walau sering kali kami sepaham mengenai sesuatu. Terkadang aku melamun hingga mengantuk, membayangkan bintang lewat di atas rumahku malam nanti.

Dua hari setelahnya, aku bangkit dari tempat tidurku di pagi hari. Aku segera berangkat menuju desa sahabatku itu. Kukayuh cepat-cepat sepedaku menyusuri jalanan dan melewati ilalang yang menutupi tanah basah itu. Anehnya, aku tak sempat melihat ke bawah sehingga tak sekalipun aku takut jatuh. Sudah tujuh belas tahun lamanya kuanggap 'menara buku' ini sebagai rumah keduaku. Hingga dua tahun kemarin aku memutuskan untuk berpisah dengan Nat dan bekerja di sebuah kota kecil. Sampai di rumah itu, jujur, revolusi meroda di pikiran dan hatiku. Aku kebingungan mencari cara yang tepat untuk mengejutkannya dan menyampaikan ucapan ulang tahun kepadanya. Pikirku, mungkin dia sudah menduganya, ini akan jadi seperti tahun-tahun sebelumnya. Buku dan ucapan, buku dan ucapan, segalanya sama saja waktu ke waktu. 'Ayolah Ben, kau mesti berpikir cepat,' ungkapku perlahan. Ya sudah, kuketuk saja pintu depan. Derasnya aliran sungai memaksaku bertanya dengan suara nyaring kepada Bu Lucy, "Pagi, Bu. Di mana Nat?"

Janda tua itu mempersilakanku menginjakkan kaki ke dalam ruangan kerja anaknya. Sang ibu kadang membuatku kasihan karena terlihat renta, tetapi kini menikmati hasil kerja anaknya dengan bahagia. Bahagia ketika aku mengetahui bahwa dia terkejut karena kehadiran mendadakku bagaikan daun yang jatuh seketika. Kusembunyikan hadiah itu di dalam koran pagi yang baru kubeli tadi. Ujarnya, "Lama tak jumpa, Ben. Jadi, kau masih ingat ya?" Ia berdiri dan tangannya masih memegang tinta hitam penanya, lalu tersenyum padaku. Lalu aku maju dan berkata, "Tentu, aku takkan ragu untuk menyusuri jalan raya kota kemari, walau itu hanya untuk mengucapkan selamat ulang tahun." Kuberikan segera hadiahku kepadanya tanpa koma, namun darah mengalir dari hidungnya sebelum sempat mengucapkan sepatah kata. "Kamu mengapa, terlalu banyak bekerja ya?" candaku spontan. Namun, melihat ibunya bereaksi terkejut, aku mengambil selembar tisu dari mejanya dan mengusapkan ke hidung mengerikan Nat.

Kami berdua duduk di ayunan halaman rumah 'perpustakaan' itu. "Maaf sudah lama aku tidak kemari menghampirimu dan ibumu," tanyaku lembut, "Tetapi bagaimana keadaan kalian setahun ini? Apa yang terjadi pada kertas lingkaran milik kita itu?" Alam rasaku bergetar, saat memandang manusia ini, tak kalah menyejukkan dengan merasakan aliran sungai desa. Rambutnya dia kepang seperti rantai panjang, tangannya memegang botol yang dipakai untuk menampung darahnya yang terus tumpah. "Aku memahami penyesalanmu, Ben, tetapi aku sudah tidak bisa diperbaiki walau sudah kucoba. Pekerjaan ini membuatku terlalu banyak menuliskan titik, dan suatu ketika aku didiagnosis mengalami pecah pembuluh darah kompleks di kepalaku." Sungguh mengerikan melihat Nat seperti ini, bodohnya aku tidak membantunya. Warna di wajah itu sudah tidak seperti dua tahun sebelumnya.

"Ngomong-ngomong, ini kertas yang kau cari tadi, kusimpan dalam salah satu novel karanganku yang baru. Sebenarnya, lama ingin memberikanmu ini," Nat merogoh kantung celananya. Seketika, terpikirkan olehku untuk melakukan sesuatu yang takkan dia sangka. Aku berdiri, mengambil pulpen merah dari tasku, menulis di kertas di atas kursi: 'Dua manusia akan bersatu sampai akhir, tak perlu menembak panah dari kejauhan." Seketika dia menutup mulutnya, terkejut karena membaca tulisanku lalu berseru, "Apa maksudmu sehingga kau me-," "Jangan tergesa-gesa dulu, kawan. Aku tak ingin memberikan ibumu segelas anggur dan membuat kesepakatan untuk sekarang. Peradaban yang terpecah ini harus segera berubah." Kucium pipinya, lama-lama ia mengikuti ciumanku dan bibirku jadi berlumuran darah. Seketika aku melihatnya menangis, dan berkata, "Aku benar-benar mencintaimu."

*WHy-EndR

**Setelah Senja: sebuah kisah imajinatif reflektif yang mencoba mendaratkan nilai-nilai kehidupan (life value) dalam kisah fiksi ke dalam konteks zaman yang sangat nyata dalam realita hidup ini.

***Setelah Senja: Dari pagi menjelang malam ada berbagai dinamika kehidupan yang menjadi bagian cerita hidup kita. Semuanya itu akan berjalan begitu saja dan pada akhirnya terlupakan begitu saja pula jika kita tidak berusaha mengendapkannya dalam sebuah permenungan sederhana tentang hidup ini demi hidup yang lebih hidup setiap harinya. "Setelah Senja" masuk dalam permenungan malam untuk hidup yang lebih baik.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun