Mohon tunggu...
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris Mohon Tunggu... Penulis - Menikmati menulis dan membaca dalam bertualang makna kehidupan menuju kebijaksanaan abadi.

Penulis, Pembaca, Petualang, dan Pencari Makna.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pendidikan Reflektif Anti Hoaks

4 Januari 2021   22:53 Diperbarui: 4 Januari 2021   23:27 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Sekolah seringkali menjadi tempat yang sangat terisolir dari kenyataan masyarakat yang sesungguhnya. Segala aktivitas yang terjadi di sekolah semata-mata hanyalah sebuah dinamika pembelajaran untuk sebuah pencapaian kompetensi tertentu. Celakanya, pembelajaran berlangsung dari masa ke masa dengan metode dan materi yang nyaris sama tanpa penyesuaian dengan perkembangan masyarakat. Anak-anak pergi ke sekolah untuk belajar materi (baca: teori) lalu diharapkan nantinya siap untuk diuji dan lulus dengan nilai yang baik. Ketika sekolah dirasa kurang memantapkan para siswa, banyak orang tua masih memberikan tambahan les setelah pulang sekolah. Sekolah benar-benar menjadi dunia di dalam dunia, masyarakat di dalam masyarakat.

Sekolah sejatinya bagian dari dunia atau masyarakat pada umumnya. Sekolah atau dunia pendidikan merupakan tempat belajar tentang kehidupan nyata dan untuk kehidupan itu sendiri. Ketika sekolah tidak memiliki jaringan (link) yang sinergis, ada sebuah kesalahan besar yang terus-menerus terjadi dalam dunia pendidikan itu. Ketika anak belajar berbagai mata pelajaran seperti matematika, bahasa, IPA, IPS dan lainnya, paradigma yang harus tertanam adalah "apa pentingnya pelajaran itu bagi hidup mereka" di masyarakat nyata. Tatkala pembelajaran seluruh mata pelajaran itu hanya demi ujian dan kelulusan belaka, sesungguhnya pendidikan kita telah mati.

Masyarakat Indonesia saat ini sedang sibuk dengan berbagai dinamika politik yang tidak jarang melibatkan akal, perasaan, dan tindakan. Lebih gilanya lagi, dinamika politik yang ada kadangkala mengabaikan akal sehat, nurani, dan kesantunan. Belum lagi ada begitu maraknya berita bohong (hoax) yang saling menjatuhkan dan menjelek-jelekkan sehingga menimbulkan kegaduhan, keresahan, dan fitnah di masyarakat. Dunia pendidikan semestinya menangkap fenomena dan kenyataan ini sebagai sebuah materi pembelajaran bagi anak-anak untuk menumbuhkan kesadaran dan membangkitkan tindakan nyata yang waras secara akal, bernurani, dan menjunjung tinggi etika humanis.

Hoax atau berita bohong menjadi salah satu media yang menghancurkan proses humanisme dalam peradaban manusia yang sangat mulia ini. Nilai-nilai kehidupan (life value) yang menjadi sumber inspirasi dan perilaku terabaikan oleh kepentingan tertentu dengan maraknya hoax. Manusia benar-benar jatuh pada tujuan praktis yang anarkis dan brutal sehingga manusia lebih mengedepankan egoisme daripada kepentingan komunal untuk masyarakat luas dengan tujuan yang luhur.

Pendidikan dalam hal ini sekolah hendaknya menjadi yang pertama dan utama dalam usaha mengembalikan peradaban yang beradab tanpa hoax. Pendidikan merupakan proses pembentukan nilai, sikap, dan kehendak sehingga pendidikan sejatinya berlangsung dalam suasana moral, yakni pendidikan mengembangkan pengetahuan, nurani, dan tindakan yang tergabung dalam kebajikan. Sasaran pendidikan yang utama untuk masa kini adalah membentuk manusia demi sesama karena manusia hidup tidak semata-mata untuk dirinya sendiri. Sebaliknya, hoax merupakan bagian dari penghancuran nilai-nilai baik, pengabaian nurani, dan pelecehan terhadap moral dan kebajikan. Lebih dari itu, hoax adalah membentuk manusia untuk dirinya sendiri atau golongannya sendiri dengan harapan orang lain hancur atau kalah. Pendidikan menjadi senjata ampuh untuk membangun kesadaran sekaligus mendobrak mentalitas egois dan licik dalam hoax.

Pembelajaran Reflektif

Belajar seringkali dikerdilkan hanya dalam ranah kognitif belaka sehingga anak-anak menghabiskan banyak waktu dan energi untuk belajar teori dan materi demi mengisi otak supaya siap diuji pada waktunya dan menghasilkan nilai yang bagus. Belajar sesungguhnya adalah sebuah proses sinergis dan menyeluruh yang mengembangkan kognitif, nurani, tindakan, dan komitmen hidup. Belajar adalah proses kolaborasi diri. Ada istilah, Non Scholae sed Vitae Discimus, bahwa belajar bukan hanya sekadar untuk mendapatkan nilai (score) baik namun lebih dari itu, belajar untuk menggali dan menginternalisasikan nilai-nilai hidup (life value) dalam hidup itu sendiri. Belajar menjadi proses yang efektif untuk menyelaraskan antara kelas/sekolah dan kehidupan nyata. Inilah yang disebut dengan belajar kehidupan dalam semangat kolaborasi diri yang membentuk mentalitas dan karakter diri.

Belajar kehidupan ini dapat menjadi harapan besar untuk melawan dan menghilangkan kebiasaan menyakiti orang lain dengan hoax. Harus diakui, hoax dapat dilakukan oleh siapapun tanpa mengenal tingkat pendidikannya. Yang pasti adalah hoax dilakukan oleh orang-orang yang jiwanya rapuh dan mentalitasnya sangat tidak terhormat. Belajar kehidupan menempatkan diri pada pengolahan jiwa manusia yang mendorong mentalitas dan karakter yang baik. Dengan jiwa yang baik, manusia akan sangat merasa bersalah jika harus menyakiti orang lain apalagi menyebar berita bohong tentang orang lain. Nurani menjadi alarm yang mujarab bagi manusia untuk berbuat salah sehingga manusia tidak mau menyakiti orang lain.

Pembelajaran di kelas seringkali berakhir dengan kesimpulan dan tes/ujian untuk mengukur ketercapaian pemahaman para siswa. Dengan cara ini, anak hanya akan paham tentang materi/teori dan tidak tahu pentingnya materi itu bagi hidupnya dan hidup orang di lain di masyarakat luas. Parahnya lagi, para siswa tidak tahu harus melakukan tindakan nyata apa untuk dirinya dan orang lain yang benar-benar bermanfaat dan bernilai. Pembelajaran hendaknya mengkolaborasi dengan aktivitas refleksi sebagai kesempatan untuk melihat kembali proses pembelajaran, menggali makna hidup yang menginspirasi, dan akhirnya membangun niat/komitmen nyata dalam hidup demi kebaikan diri dan sesama.

Pembelajaran yang reflektif akan membiasakan para siswa untuk belajar secara sinergis dan bermakna. Pertama, para siswa belajar membangun kesadaran akan setiap pengalaman yang dialaminya dalam proses belajar. Hal ini akan membiasakan mereka untuk menyadari bahwa setiap aktivitas dirinya memiliki pengaruh pada dirinya dan sesama. Kedua, para siswa juga belajar memaknai dari setiap pengalaman belajarnya sehingga belajar bukan sekadar transfer ilmu belaka namun belajar juga merupakan proses pembentukan karakter, seperti jujur, kerja keras, teliti, tekun, siap dengan tantangan baru, kasih, peduli pada teman, dan sebagainya. Ketiga, para siswa semakin dimantapkan dalam hidup lewat mengembangkan komitmen diri yang berguna pada diri sendiri dan sesama berdasarkan pembelajaran yang dialaminya. Ketika anak belajar Biologi tentang aneka ragam hayati, mereka akan semakin kagum, menghargai, dan memelihara alam di sekitarnya.

Pembiasaan refleksi dalam setiap pembelajaran ini menjadi sebuah pembiasaan mentalitas dan karakter baik bagi para siswa dalam menjalani hidup saat ini dan kelak. Sebuah harapan besar, ketika masyarakat diterjang dengan badai hoax, masyarakat yang reflektif akan melihat hoax tersebut dalam kerangka kesadaran, nilai hidup, dan komitmen pada kebaikan dan kebajikan. Akhirnya, pendidikaan sudah waktunya secara serentak mengusahakan masyarakat yang dewasa dalam berpikir, berasa, dan bersikap lewat komitmen pembiasaan diri dalam pendidikan yang reflektif. Segera.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun