Mohon tunggu...
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris Mohon Tunggu... Penulis - Menikmati menulis dan membaca dalam bertualang makna kehidupan menuju kebijaksanaan abadi.

Penulis, Pembaca, Petualang, dan Pencari Makna.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Membangun Kharisma Bangsa Lewat Mendengarkan

16 April 2018   12:45 Diperbarui: 16 April 2018   12:50 448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dunia saat ini banyak dibanjiri berbagai aksi orang-orang yang ingin dikagumi oleh orang lain. Pribadi-pribadi itu mencoba mengesankan banyak orang sehingga mendapat pengakuan bahwa dirinya hebat dan mengagumkan. Para politikus dan yang ingin jadi politikus pun berlomba-lomba untuk menjadi orang hebat lewat segala perkataan dan aksinya.

Kita sering mengira bahwa jika kita dapat mengesankan orang lain, kita dapat memengaruhi mereka. Padahal segala usaha yang mengarah pada tujuan agar orang lain terkesan sesungguhnya adalah sebuah kesia-siaan belaka karena tidak jarang orang menghalalkan segala cara demi sebuah pengakuan publik. Celakanya, akal nalar dan nurani terabaikan demi menjadi orang yang mengesankan. Dan tragisnya, ketika pengakuan atas kehebatannya tidak tercapai, mereka akan menjadi orang-orang yang frustasi dan anarkis.

Jika Anda ingin memengaruhi orang lain, jangan coba-coba sekali saja untuk mengesankan mereka. Kebanggaan itu tidak lebih dari sekadar bentuk mementingkan diri sendiri yang jatuh pada arogansi hidup. Sebaliknya, orang yang berkarisma adalah orang yang berfokus pada orang lain, bukan pada diri sendiri. Orang yang berkarisma adalah orang yang siap sedia untuk mendengarkan orang lain, tidak berusaha menjadi pusat perhatian, dan tidak berpura-pura sempurna.

Dunia pendidikan sangat indah tatkala proses belajar di sekolah menjadi proses membangun karisma diri secara benar dan berkesinambungan. Guru yang berkarisma bukanlah guru yang terlihat pintar dengan kata-kata yang sulit dipahami dan mengajarkan materi yang sangat berat. Guru yang berkarisma bukan pula guru yang serba bisa tatkala ditanyai para siswa dengan segala dalil-dalil kelimuan. Guru yang hebat tidak sama dengan guru yang selalu dikagumi para siswa. Guru yang berkarisma adalah guru yang mampu mendengarkan para siswa dan selalu terkesan akan potensi mereka.

Dunia sedang mengalami krisis mendengarkan karena banyak orang terlalu banyak bicara dan kadang keluar dari nalar dan nurani. Perkataannya selalu mengundang masalah karena sangat provokatif dan mengusik kenyamanan dan kesatuan bermasyarakat. Kebenaran seolah-olah hanya milik pribadi dan golongannya. Telinganya telah tersumbat oleh ambisi untuk menguasai dan mencela orang lain yang berseberangan paham dan filosofi hidupnya.

Setiap hari, setiap jam, bangsa kita disuguhi contoh-contoh tidak baik dari elit-elit politik kita. Peredaran dan perputaran kata-kata penuh dengan aroma kebencian dan dendam, tidak ada rasa empatik dan rendah hati satu sama lain. Apa yang terjadi di negara kita saat ini bukanlah sekadar dinamika politik belaka, tetapi sebuah "kebrutalan" dalam hidup berbangsa dan bernegara. Kebenaran hanya dimiliki oleh golongannya masing-masing dan golongan lain yang berseberangan adalah sesat dan salah. Bangsa yang begitu besar ini hanya memiliki hitam dan putih saja dalam keragaman bermasyarakatnya. Ironis.

Mungkin saat-saat inilah masa kebangkitan Retorik Sofis yang pernah menjadi "trend" pada akhir abad ke-5 SM yang memiliki tokoh filosof terkenal seperti Gorgias, Lysias, Phidias, Protagoras, dan Isocrates. Kaum Sofis ini memiliki paham bahwa kecakapan berbicara tercapai jika orang itu dapat menjatuhkan orang lain dalam setiap pembicaraan atau kasus, dengan kata lain kemenangan menjadi tujuan utama. Penganut aliran ini akan berusaha dengan berbagai cara untuk memenangkan pembicaraan atau kasus karena naluri yang ada naluri debat sehingga kaum Sofis terkenal sebagai orang-orang yang mahir bersilat lidah atau berdebat kusir.

Bila kita melihat dinamika kehidupan saat ini rasanya ada kemiripan dengan masa jayanya aliran Sofis tersebut. Setiap orang atau golongan selalu siap dengan prinsip dan argumennya dalam mencapai tujuannya tanpa mau mendengarkan pendapat orang lain. Segala cara ditempuh sehingga  banyak orang bisa berbicara tetapi tidak dapat melaksanakannya, "tong kosong berbunyi nyaring".

Akibatnya, banyak orang berpendapat, berbicara, mengkritik, mengeluarkan statement tertentu namun dirinya sendiri tak bisa "bercermin" dari pendapat, kritik, atau statement-nya sendiri. Dengan kata lain, hanya bisa bicara atau menuntut orang lain melaksanakannya tetapi dia sendiri tidak bisa melaksanakannya. Ironis bukan hal ini, tetapi itulah yang terjadi.

Para elit di negeri ini sudah terlanjur hancur dan terperangkap dalam kesesatan berpikir dan bernurani. Rasanya sulit untuk memperbaiki para orang dewasa dan berpendidikan itu karena akal dan nuraninya sudah membatu. Akan tetapi, bangsa ini masih punya harapan besar pada generasi muda yang sedang menempuh pendidikan saat ini. Budaya mendengarkan hendaknya menjadi sebuah habitus yang harus dikembangkan di dunia pendidikan demi selalu mengusahkan kebenaran sejati.

Sejarah sebenarnya telah memberi jawaban kepada kita untuk menanggulangi keadaan dewasa ini, yakni dengan munculnya Retorik Tradisional yang dipelopori oleh Plato dan dilanjutkan Aristoteles sebagai bentuk tandingan terhadap Retorik Sofis. Aliran Tradisional lebih menekankan pentingnya mencari kebenaran sejati daripada mencari kemenangan semata karena dengan menganut aliran Sofis bisa terjerumus pada keadaan yang mudah plin-plan. Orang dengan mudah berubah pendiriannya atau statementnya demi mencapai tujuan yang diinginkannya dan melindungi dirinya atau golongannya. Dan gambaran tersebut pun terjadi di Indonesia saat ini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun