Mohon tunggu...
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris
FX Aris Wahyu Prasetyo Saris Mohon Tunggu... Penulis - Menikmati menulis dan membaca dalam bertualang makna kehidupan menuju kebijaksanaan abadi.

Penulis, Pembaca, Petualang, dan Pencari Makna.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kebhinekaan dalam Angkringan

7 Maret 2018   07:44 Diperbarui: 7 Maret 2018   13:49 1069
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di zaman serba modern dengan teknologi super canggih ini gaya hidup manusia pun turut mengalir dalam arus kemajuan itu. Begitupula kemajuan dalam bidang kuliner pun semakin canggih, hal itu terbukti dengan mulai menjamurnya berbagai tempat kuliner, seperti: kafe, restauran, bar, warung makan, atau berbagai konsep tempat nongkrong dengan ciri khas tertentu.

Kota Semarang merupakan kota strategis dengan posisi sebagai kota transisi sekaligus perlintasan yang sibuk di Pulau Jawa turut dilanda "euforia" kuliner tersebut. Bukan hal yang sulit untuk menemukan tempat-tempat makan dengan berbagai selera kuliner dan konsep tempa tertentu. Bahkan Kota Semarang termasuk kota yang sangat "lapar" dengan berbagai kuliner sehingga tempat-tempat kuliner baru akan ramai diburu oleh masyarakat. 

Rasa lapar kuliner itu semakin kentara ketika dalam beberapa bulan setelah opening, tempat-tempat baru itu akan mulai sepi ditinggalkan pengunjung. Masyarakat sangat tertarik dengan kuliner yang baru, unik, dan inovatif. Maka, untuk menjawab rasa lapar masyarakat  Semarang tersebut dibutuhkan inovasi dan variasi dalam menu dan konsep tempat.

Di balik hingar-bingar kuliner di Kota Semarang tersebut, angkringan menjadi satu jenis kuliner yang paling stabil dari sisi penjual maupun pembeli. Dari sisi penjual, angkringan tidak membutuhkan inovasi dan variasi yang super canggih karena pada dasarnya makanan dan minuman yang dijual berupa kuliner sederhana yang sehari-hari dimakan oleh masyarakat, seperti: teh, jeruk, kopi, nasi telur, nasi ayam, nasi sarden, nasi babat, nasi sayur, kerupuk, berbagai jenis sate, gorengan, mie rebus, dan lainnya. Dari sisi pembeli, angkringan sesungguhnya bukan hanya sekedar tempat makan tetapi sebagai tempat nongkrong untuk sekadar kumpul-kumpul dan ngobrol-ngobrol. Jadi, makanan dan minuman yang sederhana bukanlah masalah bagi pembeli.

Sedikit mengenang sejarah angkringan, awalnya berasal dari bahasa Jawa "Angkring" yang berarti alat dan tempat jualan makanan keliling yang pikulannya berbentuk melengkung ke atas. Selanjutnya, angkringan merupakan sebuah gerobag dorong yang menjual berbagai macam makanan dan minuman yang biasa terdapat di setiap pinggir ruas jalan di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Di Solo dikenal sebagai warung "HIK", singkatan dari Hidangan Istimewa ala Kampung.

Angkringan pada awalnya memiliki kekhasan di mana gerobak angkringan ditutupi dengan terpal plastik dan menggunakan penerangan tradisional seperti senthir, yakni lampu dengan minyak tanah dan semprong. Selain itu, angkringan menggunakan arang untuk masak air minum. Dalam perkembangannya, angkringan sudah banyak menggunakan penerangan listrik dan menggunakan kompor gas. Celakanya, saat ini sudah banyak angkringan dengan konsep caf atau tempat nongkrong yang modern dengan hingar-bingar lampu dan musik. Walaupun demikian, angkringan tradisional masih diminati dan menjamur di Kota Semarang dan kota-kota lain di Jawa Tengah dan Yogyakarta.

Nilai Edukatif

Sesungguhnya maraknya angkringan di Kota Semarang patut disyukuri bahkan berharap tetap dibudidayakan. Fenomena ini merupakan hal positif bagi masyarakat sekaligus bagi kemajuan Kota Semarang. Pertama, angkringan sebenarnya mengajarkan sekaligus membiasakan masyarakat untuk hidup sederhana. Kadangkala banyak orang lebih senang makan di restauran, kafe, atau tempat makan elite karena dirasa memiliki gengsi tinggi, sedangkan makan di angkringan dirasa kurang bergengsi. Padahal dengan makan di angkringan, masyarakat akan belajar hidup sederhana sehingga penghasilan kerja dapat digunakan untuk kebutuhan lain yang lebih mendesak dan penting. Makan di angkringan tetap bergizi dan bahagia.

Kedua, angkringan sesungguhnya juga membangun semangat kebersamaan, kekeluargaan, dan persaudaraan. Meskipun makanan dan minuman yang ada sederhana, orang-orang yang datang ke angkringan berasal dari berbagai golongan, seperti mahasiswa, pelajar, pegawai, tukang-tukang, pedagang, dan lainnya. 

Bahkan lebih unik lagi, di angkringan tidak membeda-bedakan suku, agama, dan ras pembelinya. Semua kalangan dapat datang untuk makan, minum, dan berbincang-bincang. Berbagai obrolan dapat terjadi di angkringan antar pembeli walaupun tidak mengenal satu sama lainnya sebelumnya. Angkringan benar-benar menjadi tempat yang nyaman untuk berinteraksi antar masyarakat dalam membangun semangat kekeluargaan dan persaudaraan.

Ketiga, berangkat dari obrolan yang terjalin di angkringan maka wawasan dan pandangan masyarakat dapat semakin terbuka luas tentang berbagai topik. Pembicaraan yang terjadi di angkringan mengangkat berbagai hal yang sepele sampai hal yang paling aktual dari berbagai bidang, seperti olahraga, rumah tangga, sosial, ekonomi, politik, budaya, teknologi, dan sebagainya. Bahkan berbagai informasi praktis dan fungsional pun dapat terjadi di angkringan, seperti: informasi jual-beli, lowongan pekerjaan, pelayanan jasa, dan sebagainya. 

Keempat, adanya angkringan sebenarnya turut serta dalam pengendalian sosial, yakni: suatu mekanisme untuk mencegah penyimpangan sosial serta mengajak dan mengarahkan masyarakat untuk berperilaku dan bersikap sesuai norma dan nilai yang berlaku. Dengan adanya angkringan di sekitar masyarakat justru menumbuhkan kepekaan sosial pada gejala-gejala sosial yang ada di masyarakat, misalnya: ketika ada orang asing maka dengan mudah diketahui asal dan tujuannya. Secara tidak langsung, angkringan memiliki peran dalam menciptakan lingkungan aman, terkendali, dan kondusif karena masyarakat berkumpul setiap hari sehingga tumbuh kepekaan sosial.

Kelima, angkringan juga mampu menumbuhkan ekonomi kreatif dan kerakyatan.  Makanan dan minuman yang ada di angkringan seringkali tidak dibuat sendiri oleh pedagang karena membutuhkan waktu yang banyak dan energi yang lebih besar. Maka, solusi yang dilakukan oleh pedagang adalah membuka "titipan" berbagai jenis makanan dan minuman dari berbagai pihak masyarakat. 

Model ini benar-benar mengedepankan aspek kerakyatan, yakni usaha menyejahterakan yang bernuansa "dari rakyat, untuk rakyat". Bahkan angkringan benar-benar menjadi wadah pengembangan ekonomi yang bersifat mutualisme antara pedagang dan penyuplai makanan-minuman. Berawal dari relasi ekonomi tersebut, angkringan semakin memperkuat relasi sosial antar komponen masyarakat.

Dengan demikian, angkringan yang semakin menjamur di semarang dan kota-kota lainnya sangat berdampak positif dengan segala nilai edukatif yang ada di dalam dinamikanya. Nilai edukatif dari angkringan memiliki kecenderungan menekankan aspek humanisme, yakni relasi antar manusia yang menjunjung tinggi martabat dan kebudiluhuran. Angkringan benar-benar kuliner kerakyatan yang semakin membangun aspek kerakyatan yang semakin memperkokoh ketahanan dan stabilitas bangsa dan negara. Rakyat yang bersatu dan bersinergis adalah kunci bangsa yang maju dan bermartabat dalam kebhinekaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun