Kalau ada yang mampu menjaga idealisme itu, salut. Tapi jika tidak, jangan heran bila masyarakat mulai skeptis. Karena publik sudah jenuh dengan "pemberitaan berpihak" yang dibungkus narasi "independen".Â
Publik sekarang tidak sebodoh dulu. Di era media sosial, masyarakat sudah mulai paham membedakan mana berita dan mana propaganda. Dan di situlah "kuli tinta berpartai" diuji --- apakah mereka benar-benar masih menulis demi kebenaran, atau sekadar mengulang press release dari dapur politiknya sendiri.
Kalau mereka mampu menjaga jarak, jujur dalam menulis, dan tetap menyoroti kesalahan partainya sendiri, mungkin publik masih bisa hormat. Tapi kalau yang keluar hanya puja-puji dan pembenaran, yah... sulit tidak menyebut mereka "juru bicara terselubung".Â
Publik sekarang tentu tidak bodoh, apalagi akses media sosial atau informasi digital lainnya terbuka lebar.
Pada akhirnya, publik hanya ingin satu hal sederhana, yaitu: Kebenaran.Â
Entah itu datang dari wartawan, politisi, atau bahkan pemilik media.
Kalau pena sudah jadi panggung politik, dan panggung sudah jadi alat membungkam kritik, maka mungkin sudah waktunya kita bertanya: Apakah masih ada "pers" di sana, atau yang tersisa hanya "persekongkolan narasi"?
Namun, mari tetap positif.
Mungkin sebagian dari mereka masih berjuang --- menulis dengan hati, bukan dengan arah angin.
Karena pada akhirnya, kejujuran masih punya pembacanya.
Dan rakyat, bagaimanapun sederhana, tetap tahu membedakan antara berita... dan bualan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI