Dalam kehidupan masyarakat Flores Timur, terutama di Pulau Adonara dan sekitarnya, keluarga masih menjadi pusat dari segala nilai dan perilaku sosial. Di sinilah awal mula segala kebiasaan, pola pikir, dan nilai hidup terbentuk. Maka, jika kita ingin berbicara tentang kesetaraan gender, seharusnya kita mulai bukan dari ruang publik yang luas, melainkan dari lingkup yang paling kecil dan paling berpengaruh: Keluarga.
Dalam banyak keluarga di Flores Timur, peran laki-laki dan perempuan masih sering dibedakan secara tegas. Laki-laki dianggap sebagai kepala rumah tangga yang mencari nafkah, sementara perempuan diharapkan mengurus rumah dan anak. Pola ini bukan semata-mata salah, tetapi bisa menjadi tidak adil ketika perempuan kehilangan ruang untuk berkembang dan berpendapat.
Masih ada pandangan bahwa perempuan yang bekerja atau aktif di luar rumah dianggap “melawan kodrat”. Padahal, sejatinya perempuan memiliki potensi besar untuk ikut serta membangun keluarga yang sejahtera, tidak hanya dari dapur, tetapi juga dari ilmu, gagasan, dan karya mereka.
Kesetaraan Bukan Persaingan
Banyak orang keliru menganggap kesetaraan gender sebagai ajakan untuk “menyamakan” peran laki-laki dan perempuan secara mutlak. Padahal, esensi dari kesetaraan adalah memberikan kesempatan yang sama, bukan peran yang identik.
Kesetaraan berarti menghargai pilihan, mendukung potensi, dan berbagi tanggung jawab dalam keluarga.
Ketika suami menghargai pandangan istri, ketika ayah ikut menggantikan popok anak, atau ketika anak laki-laki dilatih mencuci piring bersama kakak perempuannya—itulah bentuk kecil dari kesetaraan yang sesungguhnya.
Perubahan besar selalu dimulai dari kebiasaan kecil. Anak-anak di Flores Timur perlu melihat contoh nyata di rumah bahwa ayah dan ibu bekerja sama, saling menghormati, dan saling membantu.
Sekolah dan gereja dapat menjadi ruang pembelajaran nilai-nilai kesetaraan. Namun, pendidikan paling berpengaruh tetap datang dari keluarga—dari cara orang tua berbicara, memutuskan sesuatu, dan memperlakukan satu sama lain.
Masyarakat Flores Timur sangat menjunjung tinggi adat dan nilai keagamaan. Karena itu, tokoh adat dan tokoh agama memiliki peran penting dalam mengarahkan perubahan sosial. Melalui mimbar, doa, dan kegiatan adat, para pemimpin ini bisa menanamkan pemahaman bahwa kesetaraan gender tidak bertentangan dengan ajaran moral atau tradisi. Justru, banyak nilai adat Lamaholot yang mengajarkan belus (keseimbangan) dan toleransi dalam keluarga — nilai-nilai yang sejalan dengan semangat kesetaraan.
Pemberdayaan Perempuan dan Keterlibatan Laki-laki
Kesetaraan gender tidak akan tercapai jika hanya perempuan yang berjuang. Laki-laki perlu menjadi bagian dari gerakan ini.
Ketika suami mendukung istri untuk belajar, bekerja, atau berorganisasi, maka ia sedang membangun masa depan yang lebih adil bagi anak-anaknya. Sebaliknya, perempuan juga perlu menghargai peran laki-laki dan mendorong mereka untuk menjadi mitra sejati, bukan pesaing.
Pemerintah daerah dan organisasi masyarakat juga memiliki tanggung jawab besar untuk menghadirkan pelatihan keterampilan, akses ekonomi, dan perlindungan hukum bagi perempuan. Program seperti pemberdayaan UMKM perempuan, pelatihan kewirausahaan, dan penyuluhan keluarga harmonis bisa menjadi jalan nyata untuk mengubah pola pikir masyarakat.