Mohon tunggu...
Martin Edy
Martin Edy Mohon Tunggu... Pekerja Konstruksi Telekomunikasi

Seperti kebanyakan orang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Rokok: Perang Dua Realitas: Data vs Kebahagiaan dalam Cengkeraman Dilema Cukai

2 Oktober 2025   08:00 Diperbarui: 1 Oktober 2025   17:49 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di sebuah warung kopi di Temanggung, Jawa Tengah, seorang kakek berusia senja dengan tenang menghisap rokok kreteknya. Asap mengepul, berbaur dengan kabut pagi yang menyelimuti gunung-gunung di sekelilingnya. Dia telah merokok sejak remaja. Di tangannya, bukan hanya sebatang rokok, tetapi seuntai tradisi, penanda persahabatan, dan sumber kebahagiaan dalam kesederhanaan hidup. Namun, tahun ini, dia mulai merasakan sesuatu yang berbeda: rokok andalannya kini semakin sulit dijangkau. Cukai kembali dinaikkan.

Seribu kilometer jauhnya, di ruang rapat Kementerian Keuangan, para pejabat berdebat tentang besaran tarif cukai untuk tahun depan. Dua kepentingan bertarung: antara target penerimaan negara dan kekhawatiran akan melonjaknya peredaran rokok ilegal.

Dua dunia ini tidak hanya hidup dalam realitas yang berbeda, tetapi juga dalam cengkeraman dilema kebijakan yang sama. Dan ketika mereka bertemu, yang lahir bukanlah dialog, melainkan perang klaim kebenaran.

Realitas Pertama: Piramida Data dan Konsensus Global

Dunia kesehatan global berbicara dalam bahasa data dan risiko populasi. Bahaya rokok bukanlah dongeng, melainkan kesimpulan yang dibangun dari gunung bukti selama puluhan tahun.

  • Bukti Empiris Tidak Langsung: Tidak ada mayat dengan sertifikat kematian "dibunuh oleh rokok". Yang ada adalah kematian karena kanker paru, serangan jantung, atau stroke. Ilmuwan melihat ini seperti detektif yang melacak pola. Ketika pola "perokok berat -> kanker paru" muncul konsisten di ribuan studi dari berbagai negara, kesimpulannya hampir tak terbantahkan: rokok adalah dalangnya.
  • Logika Dasar: Menghirup ratusan zat kimia karsinogen secara langsung ke paru-paru mustahil tidak meninggalkan jejak kerusakan.
  • Biaya Kolektif: Studi di Indonesia memperkirakan biaya ekonomi yang ditanggung negara akibat konsumsi rokok mencapai ratusan triliun rupiah per tahun, sebuah beban yang akhirnya dipikul bersama.

Dalam realitas ini, kebijakan seperti kenaikan cukai dan Kawasan Tanpa Rokok adalah bentuk perlindungan negara terhadap kesehatan warganya dan stabilitas sistem kesehatan nasional.

Realitas Kedua: Asap Kebahagiaan dan Dilema Cukai yang Menjepit

Namun, beralih ke Temanggung, jantung penghasil tembakau, logika tadi runtuh diterpa angin sejuk pegunungan dan realitas ekonomi yang pelik.

  • "Survivorship Bias" yang Membahagiakan: Di sini, Anda akan bertemu dengan si Kakek berusia 100 tahun yang masih gesit merokok. Dia adalah bukti hidup, nyata, dan tak terbantahkan bahwa ada orang yang bisa selamat dari "prediksi" ilmuwan. Kita melihatnya, dan kita percaya. Inilah yang disebut survivorship bias: kita terpukau pada yang berhasil bertahan, sementara puluhan orang lain yang meninggal dunia di usia 50-an tidak lagi terlihat dan terdengar.
  • Rokok Bukan Hanya Rokok: Di sini, rokok adalah panyangga ukuman (penyangga percakapan), bagian dari sesaji leluhur, dan ritual sosial. Melarang rokok, dalam sudut pandang ini, bukan hanya melarang zat, tetapi mengikis budaya dan merampas sumber kebahagiaan.
  • Dilema Cukai di Tingkat Akar Rumput: Inilah paradoks yang mereka hadapi. Di satu sisi, kenaikan cukai membuat rokok legal semakin mahal dan memberatkan. Di sisi lain, hal itu justru memakmurkan pasar rokok ilegal yang harganya jauh lebih murah. Petani tembakau, yang seharusnya diuntungkan oleh industri legal, justru terjepit karena produk akhirnya tak terjangkau oleh masyarakat di sekitarnya sendiri. Kebijakan yang bertujuan melindungi justru terasa seperti menghukum masyarakatnya sendiri.

Dilema Cukai: Bumerang di Tangan Pembuat Kebijakan

Pemerintah terperangkap dalam lingkaran setan sendiri. Cukai dinaikkan untuk menekan konsumsi dan meningkatkan pendapatan. Namun, yang terjadi seringkali adalah:

Harga rokok legal melambung.

Masyarakat beralih ke rokok ilegal yang harganya bisa 50% lebih murah.

Penjualan rokok legal turun, sehingga target penerimaan cukai tidak tercapai.

Pasar gelap makin marak, sementara konsumsi tidak berkurang secara signifikan.

Industri rokok legal tertekan, berpotensi memicu gelombang PHK.

Kebijakan yang lahir dari niat kesehatan dan fiskal justru berbalik menjadi bumerang, menciptakan masalah baru yang tak kalah pelik.

Jembatan yang Hilang: Dari Konflik Menuju Pemahaman

Lalu, siapa yang benar dalam situasi yang seempul ini?

Mungkin pertanyaannya bukan lagi "siapa yang benar", tetapi "bagaimana kita mencari solusi yang tidak menginjak-injak salah satu realitas".

Mengakui Keberadaan "Outlier": Dunia kesehatan harus jujur mengakui bahwa ada orang dengan genetik luar biasa yang bisa merokok sepanjang hidupnya dan tetap berumur panjang. Namun, keberadaan mereka yang langka ini tidak lantas membatalkan risiko bagi sebagian besar populasi lainnya.

Pemberantasan Rokok Ilegal adalah Kunci: Tanpa penegakan hukum yang kuat terhadap peredaran rokok ilegal, kebijakan cukai akan selalu gagal. Ini adalah prasyarat sebelum kebijakan kesehatan bisa efektif.

Menghargai Konteks Budaya: Setiap kebijakan harus sensitif terhadap budaya. Daripada menghapus tradisi, carilah jalan untuk mereinterpretasinya tanpa kehilangan esensinya, dengan melibatkan tokoh adat dan masyarakat setempat.

Transisi yang Adil dan Komprehensif: Pemerintah tidak bisa hanya menaikkan cukai. Harus ada strategi paralel untuk: (a) membantu petani tembakau beralih ke komoditas lain, (b) memberikan perlindungan sosial bagi pekerja industri rokok, dan (c) memastikan pendidikan dan lapangan kerja alternatif.

Kesimpulan: Bukan Hitam atau Putih

Perseteruan ini adalah cermin dari dunia yang semakin terpolarisasi: data vs pengalaman, global vs lokal, ilmuwan vs masyarakat akar rumput.

Kakek di Temanggung itu ada dan bahagia. Data yang menunjukkan risiko kematian dini itu juga ada dan valid. Dilema cukai yang menjepit pemerintah dan rakyatnya pun nyata adanya.

Kebenaran mungkin terletak di suatu tempat di antara keduanya: menghormati pilihan dan kebahagiaan seseorang, sambil secara kolektif mengakui adanya risiko besar yang harus dikelola untuk masa depan bersama, dengan kebijakan yang tidak sekadar memungut cukai, tetapi membangun solusi menyeluruh. Mungkin dengan begini, kita bisa berhenti berperang dan mulai membangun jembatan di atas jurang pemisah yang dalam ini.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun