Mohon tunggu...
Martin Rambe
Martin Rambe Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Hidup hanya sementara. Menghabiskan setiap detik dengan baik, menggunakannya untuk hak-hal yang positif, dan tidak pernah lupa untuk bersyukur: itulah yang selalu aku cita-citakan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Si Mino Di Indonesia; Belum Diakui

4 Oktober 2014   23:56 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:21 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

SI MINO DI INDONESIA; BELUM DIAKUI

“Aku mencintai Indonesia. Sangat!!! Aku tidak mau berpaling, seperti saran mereka. Bukan hanya karena kekayaannya, tapi sebagai warga negara yang dilahirkan di negara yang diperjuangan para pahlawan hebat hingga titik darah penghabisan, aku merasa berhutang kepada mereka. Aku harus turut mempertahankan dan mengisi kemerdekaan ini. Aku harus turut mewujudkan mimpi mereka akan Indonesia. Tapi sampai kapan ya Tuhan? Sampai kapan harus bertahan seperti ini? Sampai kapan harus mengalami penolakan? Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan... Oh my God. Apakah memang minoritas tidak mendapat tempat di negeri ini? Ini sangat bertolak belakang dengan cita-cita pendiri bangsa ini. Huu....hhhh”

Hari ini adalah hari Senin. Awal minggu dengan cuaca tampak cerah, sedikit berawan, tidak terlalu panas, bahkan tidak ada tanda-tanda hujan akan datang. Tampaknya cuaca ini mampu menciptakan optimisme

Melani sudah siap untuk berangkat. Rambut hitamnya disisir rapi, kali ini dia tidak mengikat rambutnya yang cukup panjang. “Kali aja penampilan dipertimbangkan” gumamnya saat melihat pantulan dirinya yang sudah rapi dalam cermin. Sesuai dengan permintaan, Melani menggunakan kemeja putih, rok hitam, make up secukupnya, dan sepatu hitam dengan high hills 5 cm. Tentunya ia tidak lupa menjinjing tas berwarna kecoklatan yang sangat disukainya. Penampilannyabenar-benar menggambarkan bahwaia layak menjadi seorang guru.

Sebelum melangkah keluar kamar, ia sempatkan berdoa. “Semoga diterima ya Tuhan. Tidak masalah dengan salary, aku hanya ingin mengabdi kepada nusa dan bangsa” Pintanya pada Tuhannya. Ini merupakan kejadian ke-sekian kalinya dalam hidup Melani setelah pulang dari Jerman setahun yang lalu. Berkat idenya tentang pendidikan yang dituangkan dalam bentuk tulisan, Melani mendapat kesempatan belajar gratis selama dua tahun di Jerman. Tepatnya Januari 2010 silam ia berangkat. Selama belajar di Jerman, ia tidak sabar untuk segera pulang ke Indonesia, berharap dapat mengimplementasikan idenya dalam institusi pendidikan di negeri yang ia cintai ini.

Setelah merasa siap, Melani pun melangkahkan kakinya. Ia mencoba menepis perasaan pesimis yang selalu muncul. “Tidak, kali ini pasti berhasil” Ia mencoba menyemangati dirinya sendiri. Kali ini institusi pendidikan yang mengundangnya interview cukup terkenal di kota ini. Sesuai dengan yang ia pelajari di website, sekolah ini bertaraf internasional. Ini yang meyakinkan dirinya bahwa ini bakal interview yang terkahir. “Sekolah ini pasti modern dan menerima perbedaan” Pikirnya.Ia mulai membayangkan bagaimana metode mengajar yang akan digunakannya. Mengajar sesuai dengan kemauan siswa, belajar sambil bermain, bermain robot-robotan untuk mengundang kreatifitas siswa, dan banyak lagi. Intinya belajar sesuai dengan keterampilan. Ia tidak sabar mengajar sesuai dengan apa yang ia pelajari selama di Jerman. Ia benar-benar tidak sabar.

Melani pergi berjalan kaki. Ia memang sudah terbiasa berjalan kaki setelah dua tahun menjadi penghuni Jerman. Menurutnya, jalan kaki selain menyehatkan juga menghemat uang. Saking sibuknya pikirannya membayangkan cara mengajar nanti, Melani tidak merasa lelah setelah tiba di depan gedung sekolah yang ia tuju. Dia mencocokan alamat yang tertera di depan gedung dengan yang ia cacat di atas kertas yang dipegangnya. “Ini dia” Ketusnya sambil memandangi gedung pencakar langit itu. Kalau di Jerman sekolah seperti ini sudah biasa, tapi di kota yang ia tinggali sekarang, gedung ini cukup menarik perhatian. “Benar-benar bertaraf internasional” gumamnya lagi.

“Selamat pagi pak!” Ia menyapa satpam yang sedang menikmati chanel salah satu stasiun TV di pos satpam.

“Pagi Mbak, ada apa ya Mak?” Pak Satpam membalas

“Ini pak, saya mau interview, di ruangan mana ya pak?”

“Ooh mau interview, mari saya antar Mbak!”

Pak satpam yang tampaknya ramah menuntun Melani masuk ke dalam gedung. Pertama menaiki dua anak tangga, terus masuk lift, dan berhenti di lantai 2. Keluar dari lift, pas di depannya terdapat ruangan yang di atasya bertulisan ruang kepala sekolah. “Disini mbak” kata Satpamnya, sambil mengetuk pintu, membukanya, hingga Melani pun masuk.

“Ayo silahkan masuk” kata Pak Henry yang merupakan kepala sekolah, yang selalu siap mewawancarai tenaga pengajar baru sambil mempersilahkan Melani duduk.

“Trimakasih pak” Jawab Melan sambil duduk.

“Dengan Mbak Melani ya?”

“Iya benar pak!”

“Waw, melihat CVAnda, saya sendiri sangat terkesan. Tampaknya ide-ide Anda ini cocok untuk kita implementasikan di sekolah ini. Sekolah ini memang sedang menuju ke tahap itu, namun masih proses. Tahu sendirilah, kita punya budaya yang sangat kuat. Hm... Saya sih sudah tidak meragukan Anda. Jadi kapan Anda pulang dari Jerman?” Tanya Pak Henry yang tampaknya tidak meragukan Melani. Tampaknya Melani akan diterima.

“Januari 2013 pak, sebenarnya saya pendidikannya sudah selesai November 2012. Namun, saya menghabiskan waktu disana bersama orangtua angkat, makanya saya pulang ke Indonesia Januari 2013”

“Oh ya... hm...”Dahi Pak Henry tampak mengernyit. Ia sedang melihat-lihat CV Melani bagian data diri, disana tidak ada dicantumkan AGAMA.

“Oh ya, kamu Islam? Atau Kristen atau...?” Tanya Pak Henry tiba-tiba mengejutkan Melani. Jantung Melani dagdigdug. Ini pertanyaan yang selalu membawa sial. Ini pertanyaan yang selalu membawa penolakan. Ini pertanyaan yang selalu ingin dihindari Melani. Melani tertegun. Bingung harus menjawab apa. Yang pasti Melani sudah tidak mau ditolak lagi. Tapi ia juga harus tetap menjadi diri sendiri, mengungkapkan dan bangga dengan jati dirinya. Indonesia ini kan plural. Beragam pernyataan muncul dalam pikirannya seketika. Kadang mendukung, kadang menolak.

“Kok diam?” Tanya pak Henry semakin ragu. Raut wajahnya mulai berbeda.

“S..ss...saya Parmalim pak!” Jawab Melani pasrah.

“Ow,... gimana ya Melani. Kita kan Indonesia. Kita berdasarkan konstitusi. Dan di sekolah ini memang hanya ada agama yang diakui di Indonesia. Dan disini belum ada yang Mino atau yang belum diakui. Aduh, ini sangat saya sayangkan” Balas Pak Henry berat dan berharap Melani mengambil pilihan.

Melani tertegun sejenak. Berpikir. Berpikir. “Akh, tidak perlu dipikirkan! Titik! Kalau harus mengubah, beralih, itu sama sekali tidak pernah ada dalam pilihan” Batinnya.

“Tapi pak, berdasarkan UU No 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan Pasal enam puluh.... “

“Iya iya, tapi inilah peraturan kami. Hm, baik. Yasudah nanti akan kami kabari lagi ya, dan kalau Melani berubah pikiran bisa hubungi nomor telepon kami” Kata Pak Henry dengan nada menutup pembicaraan.

Melani pasrah, ia pun keluar, tak ada derai air mata. Ia senang bisa menang atas dirinya sendiri meski harus kalah dengan ketidakmengertian mereka. Kali ini ia tidak coba menghitung, terlalu banyak angka yang muncul. Penolakan demi penolakan hanya karena minoritas, belum diakui meski undang-undangnya jelas, dan alasan apa pun itu, fakta penolakan itu dalam angka sudah cukup membosankan.

“Apa aku kembali saja ke Jerman seperti permintaan orangtua angkatku?” Pikir Melani sesaat sebelum menutup mata di ranjangnya, membiarkan dirinya lelap dalam mimpi kebebasan.

Agama Lokal di Sumatera Utara

Minoritas

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun