Setiap hari, jutaan orang mulai aktivitasnya dengan menyentuh layar perangkat. Memesan ojek online untuk menuju kantor, memesan makan siang melalui aplikasi, berbelanja kebutuhan bulanan di platform belanja, sampai menikmati film streaming di malam hari. Semua serba praktis, cepat, dan terhubung. Aktivitas ini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan modern kita.
Sama seperti kita yang membutuhkan uang di dompet untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, negara juga memerlukan "dompet" yang selalu terisi. "Dompet Negara" ini, yang secara resmi kita kenal sebagai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), digunakan untuk membiayai semua kepentingan kita bersama: membangun jalan tol yang mulus, merenovasi sekolah agar anak-anak bisa belajar dengan nyaman, menyediakan layanan kesehatan gratis, dan memastikan keamanan negara tetap terjaga. Sebagian besar isinya berasal dari pajak yang kita bayarkan.
Dulu, transaksi ekonomi sebagian besar terjadi di dunia nyata, seperti di pasar, toko, dan kantor. Namun, kini sebagian besar telah berpindah ke dunia maya. Perubahan ini menimbulkan pertanyaan penting: ketika metode transaksi kita berubah, bagaimana cara negara memenuhi "dompet"-nya? Jadi, apa saja sumber pajak baru yang muncul di era digital ini
Â
Pajak dari Keranjang Belanja Online Anda
Jika Anda sering berbelanja di marketplace seperti Tokopedia, Shopee, atau Lazada, Anda mungkin sudah tidak asing dengan tambahan biaya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 11% saat hendak membayar. Angka kecil yang muncul di rincian tagihan inilah salah satu sumber pajak digital yang paling nyata. Setiap kali kita berbelanja, baik itu pakaian, elektronik, maupun produk sehari-hari secara daring, sebagian kecil dari uang yang kita bayar langsung dialokasikan untuk mengisi "dompet negara". Mekanisme ini memastikan bahwa aktivitas belanja digital yang nilainya mencapai ratusan triliun rupiah setiap tahun turut memberikan kontribusi bagi pembangunan.
Â
Penghasilan Para Bintang di Dunia Maya
Era digital telah melahirkan profesi baru yang sangat populer: content creator. Para YouTuber, selebgram, dan artis TikTok kini menjadi figur publik dengan pengaruh besar dan tentu saja, penghasilan yang tidak sedikit. Pendapatan mereka tidak hanya datang dari satu sumber, melainkan dari berbagai kanal, seperti endorsement produk, iklan yang tayang di video mereka (Google AdSense), hingga "hadiah virtual" yang diberikan oleh penggemar saat siaran langsung.
Sama seperti profesi lainnya, penghasilan yang mereka dapatkan merupakan objek Pajak Penghasilan (PPh). Pemerintah telah menetapkan regulasi agar para pembuat konten ini turut berkontribusi dalam mengisi kas negara. Dengan demikian, popularitas dan kreativitas yang mereka miliki tidak hanya mendatangkan keuntungan pribadi, tetapi juga memberikan manfaat bagi masyarakat secara umum.
Berlangganan Layanan Digital dari Negara Asing
Siapa yang tidak tahu tentang Netflix, Spotify, atau Zoom. Layanan-layanan ini berasal dari perusahaan global, tetapi penggunanya di Indonesia mencapai jutaan orang. Dulu, pemerintah kesulitan memajaki perusahaan asing yang tidak memiliki kantor fisik di Indonesia. Namun, saat ini aturan permainannya telah beralih.
Sejak tahun 2020, pemerintah Indonesia dengan bijak mewajibkan perusahaan-perusahaan digital asing untuk memungut PPN dari biaya langganan yang dibayarkan oleh konsumen di Indonesia. Maka, saat Anda membayar biaya langganan bulanan untuk melihat serial kesayangan atau mendengarkan musik tanpa gangguan, sebagian dari pembayaran tersebut sudah termasuk pajak yang akan diserahkan kepada negara. Kebijakan ini telah terbukti sangat berhasil, berhasil mengakses lebih dari 150 raksasa digital global dan menyumbang triliunan rupiah ke kas negara setiap tahunnya.
Â
Transaksi dari Aset Digital Kripto dan NFT
Dunia keuangan digital juga diramaikan oleh kehadiran aset-aset baru seperti Bitcoin, Ethereum, dan Non-Fungible Token (NFT). Banyak orang berinvestasi dan melakukan jual-beli aset ini untuk mendapatkan keuntungan. Pemerintah pun tidak tinggal diam dan telah menyesuaikan aturannya.
Berdasarkan regulasi terbaru, setiap kali seseorang menjual aset kripto atau karya seni NFT, transaksi tersebut kini dikenai Pajak Penghasilan (PPh) yang bersifat final. Pajak ini dipotong langsung oleh platform exchanger dari total nilai transaksi, bukan lagi dari keuntungannya. Menariknya, penjualan aset kripto kini tidak lagi dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN), menyelaraskan perlakuannya dengan instrumen keuangan lain. Aturan ini memastikan aktivitas ekonomi di dunia virtual yang semakin masif ini berada dalam sistem perpajakan nasional, menciptakan keadilan dan kepastian bagi semua pihak.
Tantangan yang Tidak Mudah
Walaupun sumber-sumber pajak digital ini sangat menjanjikan, proses pemungutannya bukanlah tugas yang sederhana. Karakteristik dunia digital yang tidak terbatas memungkinkan transaksi terjadi antarnegara dalam beberapa detik, sehingga sulit untuk dilacak. Selain itu, sejumlah transaksi, terutama dalam dunia aset kripto, dapat bersifat anonim, yang menjadi kendala bagi otoritas pajak untuk mengenali siapa penjual dan pembelinya. Teknologi serta kolaborasi internasional yang solid diperlukan untuk menanggulangi tantangan ini
Adaptasi untuk Masa Depan yang Lebih Baik
Dari pembelian daring, pendapatan para influencer, langganan platform streaming, hingga manfaat dari aset kripto, kita dapat mengamati bahwa "kas negara" sekarang memiliki aliran pendapatan baru yang sesuai dengan era. Ini merupakan bukti bahwa sistem perpajakan kita tidak statis, tetapi terus menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi.
Dengan memaksimalkan potensi pajak digital, kita bisa lebih yakin bahwa "keuangan negara" akan tetap kuat untuk mendanai jalan, sekolah, rumah sakit, dan berbagai program pembangunan lainnya. Pada akhirnya, pajak yang diperoleh dari dunia digital akan kembali kepada masyarakat dalam bentuk peningkatan dan kesejahteraan bersama.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI