Di sebuah desa kecil, hiduplah seorang petani sederhana bernama Pak Hadi. Ia dikenal rajin bekerja di sawah, tapi juga dikenal sangat hemat---bahkan cenderung pelit. Setiap panen, ia selalu menyimpan hasilnya sendiri dan jarang sekali bersedekah atau membantu tetangganya yang kekurangan.
Suatu hari, datanglah seorang musafir yang kelelahan ke rumah Pak Hadi. Musafir itu berkata, "Maaf Pak, saya hanya butuh segelas air dan sedikit nasi. Sudah dua hari saya berjalan tanpa makan."
Pak Hadi ragu. Ia berpikir, "Kalau aku beri dia makan, berkurang milikku. Nanti kalau hasil panen sedikit, bagaimana aku hidup?"
Akhirnya, dengan setengah hati, Pak Hadi hanya memberinya air putih dan sepotong ketela kecil. Musafir itu tersenyum dan berkata lirih, "Terima kasih, semoga Allah melapangkan rezekimu."
Beberapa hari kemudian, hujan deras melanda desa. Banjir merusak banyak sawah warga. Anehnya, sawah Pak Hadi yang berada di tempat lebih tinggi tetap utuh, tapi anehnya, tanamannya layu dan tidak tumbuh subur seperti biasanya.
Sementara itu, tetangganya, Pak Amin, seorang petani yang biasa membagi hasil panennya dengan tetangga dan anak yatim, justru mendapatkan hasil panen berlipat ganda. Padahal lahannya lebih kecil dan sempat terendam banjir.
Pak Hadi heran dan bertanya pada Pak Amin, "Kenapa panenmu bagus, padahal sawahmu sempat kebanjiran?"
Pak Amin menjawab tenang, "Saya tidak pernah merasa rugi kalau berbagi. Nabi bersabda: 'Sedekah tidak akan mengurangi harta.' Saya percaya, rezeki itu milik Allah. Kita hanya penjaga sementara."
Hari itu, Pak Hadi termenung. Ia teringat musafir yang ditolaknya. Mungkin doanya tidak sempat naik ke langit karena hatinya masih penuh hitung-hitungan dunia. Ia akhirnya sadar bahwa rezeki itu bukan hanya soal berapa yang kita simpan, tapi berapa yang kita ikhlaskan untuk orang lain.
Sejak saat itu, Pak Hadi mulai berubah. Ia lebih ringan tangan, suka berbagi, dan tidak takut rezekinya habis. Dan benar saja, panen-panen berikutnya lebih baik, dan hatinya jauh lebih tenang.
Pesan Dakwah: