Mohon tunggu...
Marlianto
Marlianto Mohon Tunggu... Buruh - Apa...

Mencari titik akhir

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sang Warisan Leluhur (Hal 11)

3 Desember 2019   20:35 Diperbarui: 3 Desember 2019   20:42 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Runa Kamalini melihat aksi itu, langsung cekikikan dalam hati, "Kedua orang ini sedang mempertontonkan lakon mabuk kepayang lupa daratan. Apakah kali ini Dewi Kembang mampu mengatasi seperti biasanya?. Yang pasti ujung lidah pria ini, tak akan mampu memuaskan..." 

Seakan merasa gerah, tiba tiba Dewi Kembang melepas ikatan tali jubah lalu menyingkap jubahnya, gerakannya sangat wajar, namun telah membius mata Daksa Ardhana yang melihat dibalik jubah itu, Dewi Kembang memakai baju tipis ketat bercorak bunga dengan potongan leher sangat rendah, memamerkan belahan dada dengan sebagian susu putih montok menyembul, bergerak halus naik turun. Dan dari tubuh wanita ini menguar bau tajam, lebih harum dari bunga melati miliknya. Hidungnya tergoda untuk menghirupnya berkali-kali.

Beberapa saat mata Daksa Ardhana terpaku disana. Bahkan dia berusaha lebih liar menjelajah gumpalan daging putih lunak nan lembut, dibalik baju tipis itu, seolah ingin melumatnya.

Dewi Kembang pun nampak sengaja merelakan tatapan pria dihadapannya ini menjamah sepuas-puasnya disekitar wilayah dadanya. Bahkan pura-pura merasa gatal, dia menggaruk perlahan-lahan dengan jari telunjuk ke sela-sela susunya. Seolah sebuah isyarat, membuat hasrat Daksa Ardhana semakin bergejolak, mata kian melotot, nafas memburu, terdengar mendesah tertahan, raut mukanya memerah, titik peluh muncul di wajahnya dan dari sudut bibirnya merembes  air ludah, kumisnya yang sebelumnya tegak, kini layu, tetapi...

Mendadak dia melihat sesuatu membesar dan menonjol di selangkangannya...pisang siapa ini? Merasa tidak membawa buah pisang...Terkejutlah dia, ternyata itu bukan pisang, itu adalah benda pusaka miliknya, dan benda itu semakin memanjang, mengeras, tegak, kaku...kian takjublah dia dengan ukurannya. Padahal beberapa waktu lalu, saat dia sebagai pasiennya ning Errot, benda miliknya ini hanya mampu membesar separuhnya ukuran saat ini? Seumur-umur belum pernah barang miliknya bisa mencapai segede ini.

 Tapi...ukurannya memang dahsyat, hanya rasanya makin lama sangat mengganggu, tidak nyaman, seperti diperas-peras dengan kuat, jarem...dia mengerang...

Dia bukan orang sembarangan, berilmu tinggi, betapa tolol dirinya. Seketika dia menutup mata, mengatur nafas, mengolah hawa murninya, menyingkirkan semua ingatan tentang wilayah sekitar dada wanita, meredam gejolak hawa nafsunya, melemaskan barang miliknya, mengurangi rasa jaremnya.

Dan sejenak kemudian olah nafas dan konsentrasi pikirannya berhasil, ketika tiba tiba telinganya mendengar suara Dewi Kembang...merintih-rintih lirih. Suara itu pelan tapi sangat tajam menghunjam perasaan dan tidak mudah diredam.

Tersadarlah dirinya kini, ternyata betina dihadapannya ini sedang mencoba mempermainkannya, mengujinya, sengaja membuatnya terlena. Mula-mula menyerangnya lewat indera mata, menggoda dengan belahan dada, bersamaan itu menyerang indera penciuman dengan semerbak bau harum tubuhnya, kini indera pendengarannya juga diserang suara rintihan.

Dengan mengerahkan ilmunya dia membuntu indera penciuman dan menutup pendengarannya. Dia bernafas lewat mulutnya. Dirinya seakan mati suri, hidung tak bernafas dan telinga menjadi tuli.

Tetapi, hal itu tidak mudah, bau harum tubuh wanita memang bisa diatasi, tapi suara rintihan itu telah menusuk tajam di relung-relung hatinya, sungguh merasuki jiwanya, membuatnya merasa penasaran. Seperti dihipnotis Daksa Ardhana perlahan-lahan membuka kedua matanya...dan melihat Dewi Kembang, sambil meramkan mata sedang meremas-remas susunya yang dibungkus baju tipis ketat. Mulutnya berulang-ulang mendesah dan merintih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun