Mohon tunggu...
Marlianto
Marlianto Mohon Tunggu... Buruh - Apa...

Mencari titik akhir

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sang Warisan Leluhur (Hal 4)

6 November 2019   20:50 Diperbarui: 6 November 2019   21:01 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Mereka memacu kudanya tidak sedang terburu buru. Malah si bocah perempuan  begitu menikmati pemandangan pagi itu, diperjalanan menuju gerbang sisi timur kota Yomastair.

Ada empat penumpang didalam kereta, seorang gadis belum berusia duapuluh tahun, berwajah cantik jelita, tapi sayangnya kecantikan itu disamarkan oleh roman muka pucat bagai mayat, rambutnya hitam tebal digelung keatas diikat dengan gelang perak, saat itu dia sedang menggendong dengan mendekap dalam pangkuannya bocah lelaki berselimut. 

Di seberang gadis itu duduk bersebelahan dua orang pria. Salah seorang pria itu sudah berumur dan keriput, bersorban hitam, alis matanya putih tebal panjang hingga menjuntai kebawah, jenggotnya yang putih panjang sedada, saat itu sedang menampakan raut muka sedih ketika memandang bocah dipelukan si gadis.

" Bila kita tidak mendapatkan benda itu, aku khawatir umur pangeran tidak bisa melewati purnama ini." ucapnya

"Rencana kita sudah matang, persiapannya sempurna. Mpu tidak perlu khawatir. Seharusnya segalanya akan berjalan lancar dan benda itu pasti kita dapatkan," yang menjawab adalah lelaki disebelahnya, usianya belum empatpuluhan, tampan, berkumis tipis, rambutnya hitam lebat  terurai sampai setengah badan.

"Tidak semestinya eyang ikut perjalanan ini." si gadis ikut bicara.

"Sudahlah, untuk apa masih dipermasalahkan?" sahut si laki laki berkumis tipis

Lelaki tua bersorban hitam yang dipanggil Mpu menghela nafas, " Aku pikir mungkin tenagaku nanti dibutuhkan. Meski aku tahu, sebenarnya cukup kalian berdua saja, sudah bisa mengatasinya. Siapa tidak kenal Kilat Beracun."

Si gadis mendadak menatap sengit ke arah lelaki tua itu," Apa eyang sedang menyindir aku!"

Mpu menggeleng perlahan, " Bukan itu maksudku. Tapi kenyataannya memang seperti itu. Mengenai yang menimpa pangeran, itu ulah seorang pengkhianat. Pengkhianat yang juga membokong kalian, siapapun tidak akan menyangka kejadian itu."

"Luka yang aku derita masih tidak seberapa dibanding rasa malu yang aku terima," geram si gadis. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun