Satu tahun sudah kita hidup di bawah pemerintahan Presiden Prabowo. Saya ingin berkata "waktu berjalan cepat," tapi sayangnya, rasanya justru seperti sedang menonton film yang diputar lambat---penuh efek dramatis, dengan alur cerita yang tidak kunjung jelas, dan plot twist yang kadang bikin tepuk jidat sendiri.
Mari kita mulai dari yang paling "menyala": jumlah menteri. Ya, kabinet Prabowo bukan hanya gemuk, tapi kini makin "makmur." Bayangkan, setelah semua janji efisiensi, tiba-tiba muncul satu lagi: Menteri Urusan Umrah dan Haji. Jabatan yang secara eksklusif melayani umat Islam, di tengah jargon efisiensi anggaran. Ironisnya, di saat yang sama, rakyat diseru untuk "hemat dan fokus pada kebutuhan mendesak." Lalu saya bertanya dalam hati: menambah kursi menteri itu termasuk kebutuhan mendesak juga, Pak?
Tapi mungkin, saya yang belum paham strategi besar. Siapa tahu, semakin banyak menteri, semakin cepat negara ini efisien. Secara teori, kalau semua orang bekerja sekaligus di dapur, makanan bisa matang lebih cepat. Tapi faktanya? Kadang malah gosong bersama-sama.
Padahal, sebenarnya ketika waktu kampanye dulu, janji yang paling saya harapkan bukan soal menambah kursi atau membuat kementerian baru, tetapi melanjutkan program Presiden Jokowi. Saya berharap pembangunan infrastruktur di daerah pinggiran dan pelosok Indonesia terus dilanjutkan. Saya membayangkan kilang minyak baru diresmikan sehingga kita tidak perlu lagi bergantung pada impor. Saya berharap hilirisasi komoditas dan sumber daya alam benar-benar meningkat agar kekayaan negeri ini bisa dinikmati masyarakat, bukan hanya eksportir bahan mentah.
Saya juga menunggu IKN (Ibu Kota Nusantara) segera diselesaikan, agar pusat pemerintahan pindah dari Jawa ke Kalimantan dan pembangunan menjadi lebih merata, tidak lagi Jawa-sentris. Dan tentu saja, saya berharap energi terbarukan semakin digarap serius, transportasi listrik diperluas infrastrukturnya, dan Indonesia bisa berjalan lebih hijau, lebih efisien, lebih berdaulat.
Sebab, seperti yang pernah diingatkan Presiden Jokowi, "Ini adalah momentum keuntungan demografi yang harus dimanfaatkan." Kita sedang berada di masa emas, di mana tenaga kerja produktif lebih banyak daripada penduduk usia non-produktif. Jokowi bahkan menyebutnya sebagai "peluang menuju Indonesia Emas 2045." Sebuah visi besar yang seharusnya menjadi bahan bakar semangat pemerintahan baru untuk bekerja lebih cepat, lebih efisien, dan lebih berorientasi pada hasil nyata.
Namun sayangnya, semangat itu kini seperti meredup. Momentum demografi yang dulu dielu-elukan sebagai peluang sejarah, kini seolah tak lagi menjadi dorongan moral dan politik untuk bekerja lebih keras mencapainya. Narasi "Indonesia Emas" yang dulu digelorakan, kini tenggelam dalam keramaian program baru yang lebih banyak diperdebatkan ketimbang dijalankan.
Alih-alih melanjutkan pembangunan yang sudah terbukti memberi dampak nyata, kita malah disuguhi parade program baru dengan nama-nama patriotik: MBG (Makan Bergizi Gratis), Sekolah Garuda, Sekolah Rakyat, dan Koperasi Merah Putih. Indah di telinga, heboh di media, tapi kalau dicari hasil nyatanya---yah, seperti mencari gerai Koperasi Merah Putih di dunia nyata: lebih sulit ditemui daripada Indomaret yang "hanya" berjumlah sekitar 20 ribuan di seluruh Indonesia. Katanya sudah ada 80 ribu koperasi berdiri, tapi entah berdiri di mana. Mungkin di dimensi patriotik yang belum bisa diakses Google Maps.
Program MBG alias Makan Bergizi Gratis juga jadi sorotan. Ramai memang, tapi bukan karena sukses menurunkan angka gizi buruk---melainkan karena kasus keracunan massal di beberapa daerah. Di sinilah saya teringat kata-kata Mahatma Gandhi: "Keberhasilan sejati bukan diukur dari jumlah program, tapi dari berapa banyak jiwa yang sungguh terbantu."
Dan soal korupsi, jangan tanya. Di podium, tekad pemberantasan korupsi masih lantang bergema. Tapi di lapangan, kabar pengampunan, abolisi, dan amnesti bagi koruptor justru lebih sering terdengar. Bahkan, angka korupsi triliunan rupiah kini diumumkan seperti pengumuman diskon akhir tahun---banyak, besar, dan tidak membuat siapa pun terkejut lagi.