Bayangkan uang Rp6,7 triliun dibakar begitu saja. Uang sebesar itu setara dengan membangun 6.000 sekolah baru, atau memperbaiki ribuan kilometer jalan desa. Tapi tahun 2025 ini, menurut laporan terbaru BMKG, angka itu bukan metafora. Itulah nilai kerugian ekonomi akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Indonesia tahun ini. Dan itu belum termasuk kerugian ekologis, kesehatan, dan reputasi negara yang sulit dihitung nilainya.
Enam koma tujuh triliun. Angka yang membuat kepala pening, tapi anehnya, kita seperti sudah terbiasa mendengarnya. Pada 2019, nilainya bahkan mencapai sekitar Rp75 triliun. Dan setiap tahun, berita yang sama kembali berulang, seperti kaset rusak yang tak pernah diganti.
Kita mendengar kebakaran terjadi di Kalimantan Tengah, Riau, Sumatera Selatan, dan sebagian Kalimantan Barat. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), hingga pertengahan 2025, lebih dari 270 ribu hektare lahan dan hutan telah terbakar. Dari jumlah itu, sekitar 60% adalah lahan gambut, sebuah ekosistem yang bila terbakar, dampaknya tak hanya lokal --- tapi global.
Api di Bawah Tanah: Kompleksitas Kebakaran Gambut
Kebakaran di lahan gambut bukan seperti membakar daun kering di halaman rumah. Api pada gambut bekerja diam-diam, menjalar di bawah permukaan tanah hingga kedalaman beberapa meter. Sulit dipadamkan, bahkan setelah hujan turun.
Bayangkan mencoba memadamkan api yang membara di bawah lumpur tebal, di tengah rawa yang tak bisa dijangkau kendaraan pemadam. Itulah alasan mengapa ketika satu titik api muncul di gambut, ia bisa hidup berbulan-bulan dan menyebar tanpa terdeteksi.
Lebih parah lagi, gambut adalah penyimpan karbon terbesar di bumi. Satu hektare lahan gambut dapat menyimpan hingga 3.000 ton karbon, sedangkan lahan mineral hanya sekitar 200 ton. Artinya, ketika gambut terbakar, emisi gas rumah kaca yang dilepaskan bisa 15 kali lebih besar daripada kebakaran di tanah biasa. Ini bukan sekadar bencana lokal --- ini adalah bencana iklim global.
"Ketika gambut terbakar, masa depan ikut terbakar," kata pakar ekologi dari IPB, Prof. Bambang Hero Saharjo. Ia menambahkan, kebakaran gambut menyebabkan hilangnya fungsi ekosistem, memperparah pemanasan global, serta menghancurkan habitat flora dan fauna endemik.
Mindset yang Salah Kaprah
Masalah terbesar kita bukan pada kurangnya data, tapi pada cara berpikir. Kita masih menganggap karhutla sebagai bencana alam, padahal sebagian besar adalah bencana buatan manusia.