Kerusuhan yang melanda Indonesia dalam sepekan terakhir menjadi cermin suram demokrasi kita. Demonstrasi yang bermula dari kemarahan atas kenaikan tunjangan anggota DPR---tiap bulan mencapai setara Rp50 juta atau sekitar US$3,075, jauh di atas rata-rata upah minimum---meledak menjadi rusuh nasional.Tragisnya, Harus Ada Darah dan Api Terlebih Dahulu
28 Agustus 2025 menjadi titik kritis: pengemudi ojek daring bernama Affan Kurniawan (21) tewas terlindas armada kendaraan taktis Brimob saat demo di Jakarta, memicu gelombang unjuk rasa di seluruh negeri.
Hingga 29--30 Agustus, demonstrasi berubah menjadi kekerasan. Di Makassar, kebakaran pada gedung DPRD menewaskan 3 orang, melukai beberapa lainnya yang terpaksa terjun dari gedung terbakar di tengah kepanikan. Di kota-kota lain seperti Bandung, Solo, Surabaya, Yogyakarta, Malang, demonstrasi bahkan menyulut pembakaran rumah dinas, pos polisi, fasilitas umum, serta perusakan fasilitas layanan publik, termasuk kantor SIM.
Berdasarkan data Wikipedia per 30 Agustus 2025, total korban meninggal: 7 orang, dengan sekitar 600 ditangkap, dan luka-luka tak terdata secara tepat---sebuah gambaran kekacauan yang mengkhawatirkan.
Ketika Pemerintah Baru Bangun Saat Gedung Terbakar
Presiden Prabowo Subianto akhirnya "bereaksi cepat". Ia mengundang para pemuka Islam dan elite partai politik, mengambil keputusan---tunjangan anggota DPR dicoret, perjalanan luar negeri ditangguhkan. Tindakan tegas diberlakukan terhadap perusuh dan penjarah, bahkan ada label "pengkhianat" dan "terorisme".
Langkah ini memang memecah kebekuan. Namun ironi politiknya tajam: mengapa suara rakyat baru didengar setelah muncul korban dan gedung terbakar?
Demokrasi Darurat: Bahasa Rakyat yang Dipercaya?
Filsuf Hannah Arendt mengingatkan: "Kekuasaan tidak terletak pada kekerasan; justru kekerasan muncul saat kekuasaan kehilangan legitimasi." Orang hanya turun ke jalan karena mereka merasa pemerintah tak mendengar. Tragisnya, rakyat baru dianggap saat mereka menyerbu.
Menariknya, Reuters menyebut ini sebagai tantangan terbesar untuk pemerintahan Prabowo selama hampir setahun memimpin---menandai munculnya ketidakpuasan publik yang selama ini berpendar pelan.
Apa Yang Seharusnya Dilakukan Sebelum Api Membara?