Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kereta Cepat Whoosh dan Logika Untung Rugi: Saat Bangsa Lupa Cara Menghitung Kemajuan

14 Oktober 2025   16:26 Diperbarui: 14 Oktober 2025   17:03 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kereta cepat Whoosh (Kompas)

"Jangan tanya berapa untungnya, tapi berapa banyak manusia yang terbantu karenanya." --- kalimat ini mungkin terlalu filosofis untuk dunia yang kini sibuk menghitung laba rugi bahkan dalam urusan membangun negeri. Namun begitulah kenyataannya: proyek infrastruktur di Indonesia, terutama Kereta Cepat Jakarta--Bandung (KCJB) atau yang dikenal dengan nama Whoosh, kembali jadi polemik setelah Menteri Keuangan baru, Purbaya Yudhi Sadewa, menyoroti soal hutang Whoosh yang dianggap membebani keuangan negara.

Publik ramai, media berisik, dan netizen berdebat. Seolah semua menjadi ekonom dalam semalam, lengkap dengan kalkulator moral. Padahal, pertanyaannya sederhana: apakah semua infrastruktur publik harus menghasilkan keuntungan finansial?

Presiden Joko Widodo sudah menjawabnya jauh-jauh hari: infrastruktur tidak dibangun untuk cari untung, tapi untuk melayani. "Kalau mau untung, jangan bangun jalan tol di Papua, jangan bangun pelabuhan di NTT, jangan bangun bendungan di daerah terpencil," ujarnya suatu kali. Karena secara hitung-hitungan ekonomi, jelas rugi. Tapi kalau begitu, rakyat di sana akan tetap hidup dalam keterisolasian, tetap sulit sekolah, tetap mahal berobat, dan tetap jauh dari pusat aktivitas ekonomi.

Mari jujur. Kita pernah menertawakan mimpi MRT dan LRT Jakarta---yang katanya hanya "proyek mercusuar." Sekarang, siapa yang menikmatinya setiap pagi untuk menghindari macet di Sudirman-Thamrin? Siapa yang menghitung berapa triliun rupiah produktivitas yang diselamatkan karena orang bisa datang tepat waktu bekerja? Jika kemacetan Jakarta menggerus Rp 65 triliun per tahun (data Bappenas 2019), bukankah membangun transportasi publik adalah cara paling rasional untuk menghentikan kebocoran produktivitas itu?

Tapi kita memang bangsa yang aneh. Saat uang negara dipakai untuk membangun, kita ribut. Saat uang negara dikorupsi, kita diam. Ketika aset negara bertambah---jalannya ada, relnya ada, bandara berdiri megah, bendungan mengairi sawah---kita menyebutnya "rugi." Tapi saat uangnya raib ke rekening pribadi, tak sedikit yang bilang "ya sudahlah, sudah biasa."

Proyek kereta cepat memang mahal. Total investasinya mencapai lebih dari Rp 100 triliun, sebagian besar dari pinjaman luar negeri dan penyertaan modal negara. Tapi hasilnya jelas: waktu tempuh Jakarta--Bandung kini hanya 36 menit, bukan 3 jam. Nilai lahan di sepanjang trase naik, investasi baru bermunculan, dan kawasan industri serta pariwisata hidup kembali. Inilah yang disebut multiplier effect, sesuatu yang tak bisa dihitung hanya dengan neraca keuangan.

Filsuf Yunani Herakleitos pernah berkata, "Satu-satunya yang pasti dalam hidup adalah perubahan." Dan perubahan, seperti infrastruktur, selalu butuh biaya. Kalau setiap rupiah pembangunan harus diuji lewat laba rugi, maka jalan tol Trans Papua tak akan pernah ada, jembatan Youtefa tak akan berdiri, dan rakyat di pedalaman akan terus menunggu "keuntungan" yang tak kunjung datang.

Purbaya mungkin ingin menunjukkan sikap tegas dan transparan---dan itu baik. Tapi tegas bukan berarti menolak logika pelayanan publik. Negara bukan korporasi. Pemerintah bukan CEO yang mengejar dividen, melainkan pelayan yang menanam investasi sosial.

Jadi, sebelum kita kembali menghitung hutang Whoosh, mungkin kita perlu menghitung yang lain: berapa banyak waktu yang diselamatkan, berapa banyak lapangan kerja tercipta, berapa banyak akses terbuka bagi rakyat yang dulu terpinggirkan. Karena seperti kata Bung Karno, "Bangsa yang besar adalah bangsa yang mau berkorban untuk masa depannya." Dan kadang, pengorbanan itu berbentuk hutang---yang bukan untuk memperkaya, tapi untuk memajukan.***MG

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun