Ramai lagi suara penolakan terhadap kehadiran atlet Israel di Indonesia. Dari organisasi keagamaan hingga partai politik, gema yang sama menggema: "Tolak Israel!" Kali ini, bukan hanya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang bersuara lantang, tapi juga tiga ormas dan lembaga besar negeri ini---Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI)---bahkan dukungan penolakan juga datang dari sebagian anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI).
PDIP menegaskan bahwa kehadiran atlet Israel dianggap tidak sejalan dengan konstitusi dan politik luar negeri Indonesia yang "bebas aktif" serta dukungan terhadap kemerdekaan Palestina. Ketua DPP PDIP Ahmad Basarah mengatakan bahwa "Indonesia harus teguh memegang prinsip, tidak memberikan ruang bagi representasi negara yang masih menjajah bangsa lain."
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) melalui Ketua Umum KH Yahya Cholil Staquf menyatakan bahwa Indonesia harus "konsisten menolak segala bentuk normalisasi dengan Israel sebelum Palestina merdeka sepenuhnya." Di sisi lain, PP Muhammadiyah juga menyuarakan hal serupa. Sekretaris Umum Muhammadiyah, Abdul Mu'ti, menegaskan bahwa "kehadiran atlet Israel di Indonesia dapat menimbulkan keresahan publik dan bertentangan dengan semangat perjuangan rakyat Palestina."
Tak ketinggalan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) turut menegaskan sikapnya. Wakil Ketua Umum MUI, Anwar Abbas, menyatakan bahwa penolakan terhadap atlet Israel adalah bentuk konsistensi moral bangsa Indonesia. "Selama Israel masih menjajah Palestina dan tidak menghormati hak asasi manusia, kehadiran mereka di tanah air seharusnya ditolak," ujarnya.
Dari Senayan, suara serupa juga bergema. Beberapa anggota DPR RI dari Komisi X dan Komisi I yang membidangi olahraga dan hubungan luar negeri menyuarakan keberatan atas kehadiran atlet Israel. Ketua Komisi X DPR RI, Syaiful Huda, menegaskan bahwa "pemerintah perlu mempertimbangkan sensitivitas publik dan sikap politik luar negeri Indonesia yang berpihak pada kemerdekaan Palestina." Sekilas terdengar heroik dan patriotik, tapi mari kita bertanya pelan-pelan: perlukah?
Jejak Penolakan dan Luka Lama
Penolakan ini mengingatkan kita pada tragedi politik-olahraga beberapa tahun silam, ketika Indonesia kehilangan kehormatan sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20. Kala itu, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan Gubernur Bali I Wayan Koster---keduanya kader PDIP---menyuarakan penolakan terhadap kehadiran tim Israel U-20. Akibatnya, FIFA mencabut status tuan rumah Indonesia. Presiden Joko Widodo, yang kala itu menegaskan bahwa olahraga dan politik seharusnya dipisah, tampak kecewa.
"Jangan campuradukkan urusan olahraga dengan politik," kata Jokowi dengan nada yang lebih diplomatis daripada partainya sendiri. Pernyataan itu menjadi semacam pengingat bahwa politik luar negeri seharusnya tak ikut turun ke lapangan hijau.
Kini, sejarah tampaknya ingin mengulang diri. Bedanya, kali ini bukan sepak bola, tapi aroma yang sama: nasionalisme yang mudah terbakar oleh gairah politik domestik.
Politik di Lapangan Hijau
Sejak zaman Olimpiade Kuno di Yunani, olahraga adalah ruang suci yang bebas dari konflik politik. Nilai sportivitas mengajarkan bahwa manusia setara di arena, tanpa memandang ras, agama, atau warna bendera. Seperti kata Pierre de Coubertin, pendiri Olimpiade modern, "The important thing in life is not the triumph but the struggle; the essential thing is not to have conquered but to have fought well."
Bahkan ketika Perang Dingin membelah dunia, atlet dari Amerika Serikat dan Uni Soviet tetap berdiri berdampingan di podium Olimpiade. Mereka bertanding sengit, tapi saling menghormati setelah peluit panjang berbunyi. Olahraga menjadi bahasa universal yang melampaui politik, dan justru berfungsi sebagai jembatan perdamaian.
Sayangnya, sebagian politisi dan tokoh kita tampaknya belum lulus mata kuliah Etika Olahraga dan Diplomasi Global. Bagi mereka, setiap momen adalah panggung politik. Bahkan gelanggang olahraga pun jadi arena kampanye ideologis dan moral.
Hubungan Diplomatik Bukan Alasan
Memang benar, Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel. Namun apakah itu berarti kita harus menolak atletnya datang untuk bertanding? Dalam dunia modern, hubungan diplomatik bukan satu-satunya ukuran etika internasional. Kita tetap berdagang secara tidak langsung, bahkan memakai teknologi yang dikembangkan ilmuwan Israel setiap hari---dari antivirus komputer hingga sistem pertanian modern. Ironi yang jarang disinggung dalam orasi penolakan.
Yang lebih menarik, ketika polemik penolakan tim Israel U-20 dulu memuncak, Duta Besar Palestina untuk Indonesia, Zuhair Al-Shun, justru menyatakan bahwa Palestina tidak mempermasalahkan keikutsertaan Israel dalam ajang olahraga. "Kami tidak mencampurkan olahraga dan politik. Kami menghormati keputusan FIFA," ujarnya, seperti dikutip dari Kompas (29 Maret 2023). Sebuah pernyataan yang menampar kesalehan politik sebagian pihak di Indonesia, yang seolah lebih "Palestina dari Palestina" itu sendiri.
Pelajaran dari Masa Lalu
Kita sudah pernah menyesap pahitnya keputusan emosional itu. Ketika FIFA mencabut status tuan rumah, jutaan mimpi anak muda Indonesia ikut terkubur. Para pemain kehilangan panggung, para suporter kehilangan harapan, dan industri olahraga kehilangan momentum. Semua karena segelintir elite gagal membedakan idealisme dengan politisasi.
Kini, sejarah menatap kita kembali, bertanya: apakah kita akan jatuh di lubang yang sama? Jika pemerintah kembali tunduk pada tekanan politik domestik, maka pesan yang tersampaikan ke dunia jelas --- bahwa Indonesia belum siap menjadi bagian dari komunitas global yang rasional dan profesional.
Kita boleh tidak sepakat dengan kebijakan Israel, tapi membenci atletnya di gelanggang olahraga bukanlah solusi. Seperti kata Nelson Mandela, pejuang yang tahu benar arti diskriminasi: "Sport has the power to change the world. It has the power to inspire, to unite people in a way that little else does."
Menang Melawan Diri Sendiri
Inilah ujian terbesar bangsa ini --- bukan sekadar menjadi tuan rumah yang baik, tapi menjadi bangsa yang bisa menahan diri dari godaan populisme murahan. Kita boleh berteriak lantang tentang kemanusiaan di podium politik, tapi nilai kemanusiaan sejati justru diuji di lapangan: ketika kita berani membuka tangan untuk berjabat dengan mereka yang berbeda.
Jika olahraga adalah cermin jiwa bangsa, maka menolak atlet Israel adalah tanda bahwa kita belum siap menatap diri sendiri. Padahal, kemenangan terbesar dalam olahraga --- dan dalam hidup --- bukan mengalahkan lawan, melainkan menaklukkan ego dan prasangka dalam diri.
Bangsa yang besar bukanlah yang lantang menolak, tetapi yang berani menunjukkan kematangan moral dan rasionalitas. Seperti kata Lao Tzu, "He who conquers others is strong; he who conquers himself is mighty."
Kini saatnya Indonesia memilih: menjadi kuat dengan kebencian, atau berdaulat dengan kebijaksanaan. Sebab bangsa yang benar-benar besar adalah bangsa yang menjunjung tinggi sportivitas --- bahkan terhadap mereka yang berbeda.***MG
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI