Sejak zaman Olimpiade Kuno di Yunani, olahraga adalah ruang suci yang bebas dari konflik politik. Nilai sportivitas mengajarkan bahwa manusia setara di arena, tanpa memandang ras, agama, atau warna bendera. Seperti kata Pierre de Coubertin, pendiri Olimpiade modern, "The important thing in life is not the triumph but the struggle; the essential thing is not to have conquered but to have fought well."
Bahkan ketika Perang Dingin membelah dunia, atlet dari Amerika Serikat dan Uni Soviet tetap berdiri berdampingan di podium Olimpiade. Mereka bertanding sengit, tapi saling menghormati setelah peluit panjang berbunyi. Olahraga menjadi bahasa universal yang melampaui politik, dan justru berfungsi sebagai jembatan perdamaian.
Sayangnya, sebagian politisi dan tokoh kita tampaknya belum lulus mata kuliah Etika Olahraga dan Diplomasi Global. Bagi mereka, setiap momen adalah panggung politik. Bahkan gelanggang olahraga pun jadi arena kampanye ideologis dan moral.
Hubungan Diplomatik Bukan Alasan
Memang benar, Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel. Namun apakah itu berarti kita harus menolak atletnya datang untuk bertanding? Dalam dunia modern, hubungan diplomatik bukan satu-satunya ukuran etika internasional. Kita tetap berdagang secara tidak langsung, bahkan memakai teknologi yang dikembangkan ilmuwan Israel setiap hari---dari antivirus komputer hingga sistem pertanian modern. Ironi yang jarang disinggung dalam orasi penolakan.
Yang lebih menarik, ketika polemik penolakan tim Israel U-20 dulu memuncak, Duta Besar Palestina untuk Indonesia, Zuhair Al-Shun, justru menyatakan bahwa Palestina tidak mempermasalahkan keikutsertaan Israel dalam ajang olahraga. "Kami tidak mencampurkan olahraga dan politik. Kami menghormati keputusan FIFA," ujarnya, seperti dikutip dari Kompas (29 Maret 2023). Sebuah pernyataan yang menampar kesalehan politik sebagian pihak di Indonesia, yang seolah lebih "Palestina dari Palestina" itu sendiri.
Pelajaran dari Masa Lalu
Kita sudah pernah menyesap pahitnya keputusan emosional itu. Ketika FIFA mencabut status tuan rumah, jutaan mimpi anak muda Indonesia ikut terkubur. Para pemain kehilangan panggung, para suporter kehilangan harapan, dan industri olahraga kehilangan momentum. Semua karena segelintir elite gagal membedakan idealisme dengan politisasi.
Kini, sejarah menatap kita kembali, bertanya: apakah kita akan jatuh di lubang yang sama? Jika pemerintah kembali tunduk pada tekanan politik domestik, maka pesan yang tersampaikan ke dunia jelas --- bahwa Indonesia belum siap menjadi bagian dari komunitas global yang rasional dan profesional.
Kita boleh tidak sepakat dengan kebijakan Israel, tapi membenci atletnya di gelanggang olahraga bukanlah solusi. Seperti kata Nelson Mandela, pejuang yang tahu benar arti diskriminasi: "Sport has the power to change the world. It has the power to inspire, to unite people in a way that little else does."
Menang Melawan Diri Sendiri