Sebab, masalah di negeri ini sudah sistematis dan berlapis kepentingan. Banyak yang menyebut, sistem ekonomi dan birokrasi Indonesia kini "bergaya mafia": saling menutupi, saling melindungi, dan alergi pada transparansi. Menyentuh satu simpul kepentingan berarti menyinggung banyak pihak yang tak ingin tatanan lama berubah.
Purbaya tampaknya sadar akan risiko itu. Dalam beberapa kesempatan, ia menegaskan bahwa kritiknya bukan untuk menyerang, melainkan memperbaiki kinerja. Tapi publik tahu, di Jakarta, niat baik sering kali tidak cukup --- terutama jika disampaikan dengan nada yang membuat orang kehilangan muka.
Menangkap Ikan, Jangan Membuat Air Keruh
Tegas memang perlu, apalagi di tengah ekonomi yang butuh reformasi fiskal. Namun gaya "hitam putih" yang menolak kompromi bisa menjadi bumerang jika tidak dibarengi strategi komunikasi dan politik yang cerdas.
Purbaya punya posisi kuat, tapi bukan tanpa risiko. Jika ia ingin bertahan, ia perlu belajar menangkap ikan tanpa membuat air keruh --- memperbaiki sistem tanpa menyinggung semua yang ada di dalamnya sekaligus.
Kebenaran memang tidak selalu nyaman, tapi juga tidak harus dibungkus dalam ledakan-ledakan kata. Dalam birokrasi yang sensitif, terkadang "menyapu bersih tidak berarti harus membakar rumah."Â
Jika Purbaya bisa menjaga keseimbangan antara keberanian dan kebijaksanaan, mungkin ia akan menjadi sosok langka: pejabat yang bukan hanya berani, tapi juga bertahan.***MG
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI