Setiap kali ada peluang perdamaian, hampir selalu ada kelompok garis keras yang merusaknya. Yitzhak Rabin, Perdana Menteri Israel yang berani menandatangani Oslo Accords bersama Yasser Arafat pada 1993, justru dibunuh oleh ekstremis Israel pada tahun 1995.Â
Arafat sendiri sering dilemahkan oleh perpecahan internal Palestina, terutama dari kelompok Hamas yang menolak kompromi dengan Israel.
Sejarah menunjukkan, suara moderat memang pernah menjadi harapan, namun sayangnya nyaris selalu dibungkam oleh kebencian, kekerasan, dan kepentingan politik jangka pendek.
Moderasi Palestina: Antara Harapan dan Sunyi
Dalam politik Palestina, perpecahan nyata terlihat. Di satu sisi ada Hamas yang menguasai Gaza dengan pendekatan militeristik, menggunakan roket dan serangan sebagai "perlawanan".Â
Pada konflik 2024--2025 saja, diperkirakan puluhan ribu roket telah diluncurkan dari Gaza ke wilayah Israel, menyebabkan korban sipil dan kerusakan infrastruktur yang besar.Â
Data PBB menyebutkan bahwa selama konflik berkepanjangan, lebih dari 20.000 warga Palestina --- termasuk perempuan dan anak-anak --- kehilangan nyawa, sementara puluhan ribu lainnya mengalami cedera.
Di sisi lain ada Otoritas Palestina di Tepi Barat yang dipimpin Abbas, dengan sikap yang lebih diplomatis dan mengedepankan pengakuan internasional.Â
Langkah Abbas di PBB yang menolak Hamas adalah upaya mempertegas garis moderat Palestina: bahwa perjuangan bangsa ini bukanlah kebencian terhadap Yahudi, tetapi tuntutan kemerdekaan dan keadilan.Â
Pernyataan ini sejalan dengan pandangan sebagian besar masyarakat Palestina yang lelah berperang dan lebih menginginkan pengakuan negara serta pembangunan ekonomi.
Sayangnya, suara moderat ini sering kalah gaung dibandingkan propaganda keras. Dunia lebih banyak mendengar roket yang diluncurkan Hamas atau serangan balasan Israel, daripada pidato panjang seorang Abbas yang menolak kekerasan.