Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Harimau di Ujung Lidah

10 September 2025   08:28 Diperbarui: 10 September 2025   12:02 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menkeu Purbaya (detik.com)

Selamat datang di era di mana setiap kata pejabat publik tidak lagi hanyut ke angin, melainkan tersimpan, digandakan, dipotong, lalu disebarluaskan oleh jutaan layar kecil. Pepatah lama, mulutmu adalah harimaumu, kini tak lagi sekadar peringatan moral; ia menjelma manajemen risiko politik dan ekonomi. 

Bukti terbaru bisa kita saksikan dari sosok Purbaya Yudhi Sadewa, menteri keuangan yang baru saja naik pelana. Belum sempat menghangatkan kursi, sudah harus meminta maaf karena ucapannya viral.

Kasus Ucapan yang Viral

Beberapa minggu terakhir, pola ini terasa kian akrab: salah ucap, cepat viral, lalu konsekuensinya datang bertubi-tubi. Purbaya bukan satu-satunya. Presiden sekaligus ketua umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto, bahkan sampai harus mengumpulkan para anggota fraksinya. Pesannya jelas: hati-hati bicara, jangan sampai menyakiti rakyat.

Ada pula menteri agama yang mesti menelan ludahnya sendiri usai melontarkan komentar tentang guru yang dianggap merendahkan profesi mulia itu. Tidak ketinggalan, beberapa partai pun harus menonaktifkan kader DPR mereka karena ucapan yang dinilai kasar dan melukai telinga publik. Sanksi internal pun muncul demi menyelamatkan wajah partai.

Dampak ke Pasar dan Politik

Yang menarik, kesalahan tutur pejabat ekonomi tak hanya berakhir di headline, tetapi juga merambat ke pasar. Saham merosot, rupiah melemah, investor gelisah. Sebab di era globalisasi informasi, pernyataan menteri keuangan bukan sekadar obrolan santai di ruang rapat; ia bisa dibaca sebagai sinyal kebijakan. Dan pasar punya satu fobia yang tak pernah sembuh: ketidakpastian.

Mengapa Kata Bisa Meledak

Kenapa kata-kata pejabat bisa meledak sehebat itu? Amplifikasi media sosial membuat satu kalimat menjelma bom waktu. Konteks menguap, sensasi bertahan.

Disiplin pesan pun sering absen. Sejumlah pejabat berbicara tanpa data teruji, tanpa naskah yang sudah diverifikasi, sehingga lahir kontradiksi dan salah tafsir. Publik yang makin sensitif pun memperparah keadaan. Bicara soal agama, profesi, atau kemiskinan, salah sedikit saja bisa dianggap penghinaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun