Coba bayangkan, saudara-saudara. Anda lagi antre bayar listrik, tiba-tiba ada berita: Wakil Presiden Gibran dituntut Rp 125 triliun.Triliun, lho. Bukan juta, bukan miliar. Seratus dua puluh lima triliun. Itu kalau ditukar pakai pecahan dua ribuan, bisa nutupi jalan tol dari Jakarta sampai Surabaya, balik lagi, terus lanjut sampai Bekasi... tiga kali.
Dan masalahnya apa? Bukan soal korupsi, bukan soal kebijakan publik, tapi... ijazah SMA. Ya Tuhan. Dari sekian banyak drama politik di negeri ini, ternyata yang bisa bikin geger itu ijazah SMA. Padahal dulu waktu saya sekolah, ijazah itu paling banter dipakai untuk lamaran kerja jadi OB. Sekarang? Bisa jadi senjata politik kelas berat.
Penggugatnya siapa? Seorang warga negara biasa. Yang sebelumnya, mohon maaf, mungkin kalau lewat depan rumah kita pun kita tidak kenal. Tapi lihatlah sekarang, beliau jadi headline nasional. Media menyebut namanya berulang-ulang. Gratis. Lebih murah daripada pasang iklan politik di TV. Luar biasa.
Katanya sih, Gibran tidak memenuhi syarat karena sekolah SMA-nya di luar negeri. Loh, emangnya ada aturan yang bilang harus SMA di Indonesia? Tidak ada. Kalau ada, kasihan dong anak-anak diplomat. Pulang-pulang, ijazahnya dianggap cuma setara pramuka siaga.
Lalu soal ganti rugi Rp 125 triliun. Katanya dihitung Rp 500 ribu kali jumlah pemilih. Saya tepuk tangan. Kreatif sekali! Kalau begini, saya juga bisa gugat pemerintah. Alasannya sederhana: karena harga bakso naik, saya menderita. Ganti rugi? Rp 1 juta kali jumlah rakyat Indonesia. Nah, ketemu deh angka bombastis buat masuk berita.
Tapi tenang. Gugatan ini katanya sudah banyak pakar hukum bilang, kemungkinan besar gugur di awal. Karena syarat formalnya saja tidak masuk. Ibaratnya, Anda mau ikut lomba catur, tapi daftar di turnamen voli. Wasitnya saja sudah bingung.
Tapi ya begitulah. Di negeri ini, gugatan hukum sering jadi panggung politik. Dan panggung politik sering dipakai jadi tempat pansos. Ya, cari perhatian. Sebab apa? Karena gampang sekali. Tinggal bikin tuntutan absurd, sebut angka triliunan, lalu boom! Nama Anda melesat lebih cepat dari roket Elon Musk.
Pertanyaan saya cuma satu: apakah ini betul-betul demi keadilan? Atau cuma demi eksistensi? Kalau demi keadilan, mestinya ada logika, ada dasar hukum. Kalau demi eksistensi, ya sudah jelas: semakin aneh, semakin ramai.
Seperti kata pepatah lama: "Di zaman sekarang, orang yang paling keras teriaknya, paling dulu masuk berita."
Jadi, kalau Anda bertanya pada saya, gugatan Rp 125 triliun ini apa? Jawaban saya sederhana: ini bukan hukum. Ini hiburan. Versi lebih mahal dari stand up comedy. Bedanya, stand up comedy bikin kita ketawa, gugatan ini bikin kita garuk kepala.
Dan kalau besok-besok ada lagi yang nuntut Gibran, mungkin nilainya bisa naik. Siapa tahu Rp 500 triliun. Biar makin viral. Biar makin ramai. Karena toh, seperti kata Mario Teguh---eh, masih boleh disebut nggak sih?---"Perhatian itu mahal, dan orang rela melakukan hal konyol demi mendapatkannya."