Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Demo vs Rusuh: Perlu Kebijakan Berdemokrasi

30 Agustus 2025   09:10 Diperbarui: 30 Agustus 2025   09:10 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Demo buruh (Kompas.com)

Indonesia, negeri yang katanya sudah 26 tahun lebih merdeka dari Orde Baru, sepertinya belum sepenuhnya merdeka dari drama klasik: demonstrasi besar-besaran di jalan raya. Mahasiswa kembali turun dengan teriak lantang "bubarkan DPR!", buruh menyuarakan haknya dengan "naikkan upah!". Dari ujung mikrofon toa hingga spanduk dengan kalimat berapi-api, suara rakyat tumpah ruah di jalanan.

Secara teoritis, ini adalah vitamin demokrasi. Kita ingat adagium John Stuart Mill: "Kebebasan berpendapat adalah syarat mutlak bagi tercapainya kebenaran." Dalam bahasa Indonesia sehari-hari: kalau jalur resmi buntu, wajar rakyat mencari jalan tikus. Dan jalan tikus yang paling mudah memang jalan raya.

Namun, persoalannya: vitamin bisa jadi racun kalau dosisnya berlebihan. Demonstrasi, yang semestinya kanal aspirasi, belakangan sering berubah menjadi panggung provokasi.

---

Antara Demo dan Rusuh: Garis Tipis yang Kerap Kabur

Baru-baru ini, satu peristiwa membuat garis itu makin kabur. Seorang pengemudi ojek online, Affan Kurniawan, tewas tertabrak kendaraan taktis Brimob saat terjebak dalam demonstrasi di Bendungan Hilir, Jakarta. Ia bukan aktivis, bukan politisi, hanya rakyat biasa yang tengah mencari nafkah. Korban inilah yang kemudian menjadi simbol: di mana batas antara menyatakan pendapat secara demokratis dan kerusuhan?

Kita tahu, aksi massa belakangan memang makin masif. Pada 26 Agustus 2025 ribuan mahasiswa, buruh, dan aktivis mengepung DPR menolak tunjangan hunian Rp50 juta untuk anggota dewan. Dua hari berselang, sekitar 10.000 buruh turun ke jalan menuntut kenaikan upah hingga 10% dan penghapusan outsourcing. Sebelumnya, pada 1 Mei 2025, aksi Hari Buruh di Jakarta diikuti sekitar 200.000 orang dan lebih dari 1,2 juta buruh di seluruh Indonesia.

Namun di balik angka itu, selalu ada pihak yang menunggangi. Dari mereka yang ingin menjatuhkan lawan politik, menguji ketahanan aparat, hingga sekadar "penonton bayaran" yang datang bukan untuk aspirasi, tapi untuk adrenalin.

Provokator modern sudah bukan lagi sekadar orang yang melempar batu ke arah polisi. Mereka kini juga influencer dadakan: membuat konten live, memelintir fakta, hingga menyebarkan hoaks bak dagangan di TikTok Shop. Satu video viral bisa lebih berbahaya dari seribu batu yang dilempar.

---

Polisi: Ujian Kesabaran dalam Negara Emosional

Dalam situasi seperti ini, polisi berada dalam posisi dilematis. Bila aparat diam, mereka dianggap lemah. Bila aparat membalas dengan kekerasan, provokator justru bersorak: inilah yang mereka tunggu, korban yang bisa diangkat jadi martir.

Kita melihat hal itu ketika ratusan mahasiswa ditangkap dalam aksi 28 Agustus, sebagian diperlakukan tidak manusiawi, dari squat walk hingga dilarang naik transportasi umum. Bukannya meredam, tindakan itu justru menjadi bahan bakar narasi ketidakadilan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun