> "Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat."— Abraham Lincoln
Narasi demokrasi di Indonesia kembali diuji. Setelah dua dekade lebih reformasi mengantarkan kita pada sistem pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat, kini sejumlah elite politik justru kembali menggaungkan ide lama yang telah ditinggalkan: kepala daerah dipilih oleh DPRD. Ironisnya, gagasan ini tidak hanya muncul dari partai politik, tetapi juga seolah mendapat angin segar dari pernyataan Menteri Dalam Negeri yang menyebut opsi ini sebagai sesuatu yang bisa dikaji kembali.
Tentu saja publik bertanya: apakah ini jalan keluar dari problem demokrasi, atau justru jalan pintas yang penuh jebakan?
---
Mengapa Dulu Kita Memilih Pilkada Langsung?
Pemilihan kepala daerah secara langsung lahir dari semangat reformasi 1998, sebagai koreksi atas sistem lama yang sangat sentralistik dan elitis. Saat kepala daerah dipilih oleh DPRD, praktik transaksional dan oligarki politik sangat dominan. Rakyat hanya menjadi penonton. Bahkan, dalam banyak kasus, pemilihan kepala daerah menjadi ajang jual beli suara di kalangan anggota DPRD.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 kemudian memperbaiki sistem ini, memberikan ruang bagi rakyat untuk secara langsung memilih pemimpinnya. Sejak saat itu, kepala daerah tidak hanya menjadi representasi partai, tetapi juga representasi rakyat. Legitimasi pemimpin daerah menjadi lebih kuat dan berakar.
---
Apa Alasan Partai Menghidupkan Kembali Wacana Lama?
Dalih utama yang digunakan oleh partai politik adalah biaya politik yang tinggi dalam pilkada langsung. Ada benarnya: ongkos kampanye, logistik, hingga potensi politik uang menjadi momok dalam setiap gelaran pesta demokrasi lokal. Namun, apakah mengalihkan kembali pemilihan kepada DPRD adalah solusi yang tepat?
Jika alasan biaya menjadi pembenar, maka logika yang sama bisa digunakan untuk menghapus pemilu legislatif dan presiden langsung. Apakah kita siap kembali ke era di mana Presiden dipilih MPR?
Argumen efisiensi seringkali hanya topeng. Yang sesungguhnya terjadi adalah keinginan partai politik untuk mengunci kontrol kekuasaan, mempersempit ruang rakyat, dan menjadikan kepala daerah sebagai perpanjangan tangan partai, bukan perpanjangan aspirasi masyarakat.
---