"Keadilan tanpa kekuatan adalah tidak berdaya, kekuatan tanpa keadilan adalah tirani." -- Blaise Pascal.
Meski masa jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia telah berakhir pada 20 Oktober 2024, Joko Widodo---mantan presiden dua periode---masih terus menjadi sorotan publik. Salah satu isu yang belum juga reda adalah tudingan lama tentang keaslian ijazah yang ia gunakan untuk mencalonkan diri sebagai wali kota, gubernur, hingga presiden.
Lebih dari satu dekade mengabdi di tampuk kekuasaan tertinggi, Jokowi tetap harus menghadapi tuntutan sebagian pihak yang meminta dirinya menunjukkan ijazah asli secara langsung ke publik, meskipun Bareskrim Polri telah menegaskan bahwa dokumen tersebut asli berdasarkan uji forensik.
Dalam tanggapannya, Jokowi menegaskan bahwa ia bersedia menunjukkan ijazah tersebut jika diminta oleh penegak hukum atau dalam forum peradilan resmi. Kuasa hukumnya bahkan memperingatkan bahwa apabila ijazah itu ditunjukkan tanpa dasar hukum yang jelas, hal itu justru bisa menyebabkan "chaos". Apa sebenarnya makna dari "chaos" yang dimaksud?
Chaos: Ketika Hukum Dibalik dan Keadilan Goyah
Dalam dunia hukum, ada asas fundamental yang tidak bisa ditawar: "Barang siapa yang menuduh, dia yang harus membuktikan." Prinsip ini merupakan turunan dari asas praduga tak bersalah (presumption of innocence), sebagaimana tercantum dalam Pasal 8 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman:
"Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan ke pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap."
Jika prinsip ini diabaikan, dan si tertuduh---dalam hal ini mantan Presiden Jokowi---dipaksa membuktikan bahwa ia tidak bersalah tanpa adanya proses hukum formal, maka sistem keadilan bisa rusak. Siapa pun bisa dituduh, dan korban harus menanggung beban pembuktian atas hal yang belum tentu benar. Inilah "chaos" dalam tatanan hukum, seperti yang dikhawatirkan oleh kuasa hukum Jokowi.
Preseden yang Berbahaya
Apa jadinya jika pola pikir seperti ini dilegalkan secara sosial? Maka siapa pun bisa dengan mudah menuduh seorang pejabat, akademisi, atau warga biasa melakukan pemalsuan atau pelanggaran lain, tanpa harus membawa bukti. Jika korban tuduhan harus membuktikan bahwa ia tidak bersalah tanpa proses hukum, maka hukum tidak lagi menjadi penjaga keadilan, melainkan senjata kekuasaan opini liar.