"Bumi ini bukan warisan nenek moyang kita, melainkan pinjaman dari anak cucu kita." -- Pepatah Indian Kuno.
Raja Ampat, Surga yang Terancam
Raja Ampat, gugusan pulau tropis nan elok di ujung barat Papua, bukan hanya simbol kekayaan hayati Indonesia, tetapi juga bagian dari warisan dunia yang menjadi kebanggaan negeri. Namun, baru-baru ini, pesona ini kembali diuji ketika empat perusahaan tambang nikel dicabut izinnya oleh pemerintah karena indikasi pelanggaran lingkungan. Langkah ini lahir dari kampanye panjang, advokasi masyarakat sipil, dan hasil kunjungan serta riset lapangan yang membuktikan ancaman nyata terhadap lingkungan.
Pemerintah akhirnya bertindak. Tapi pertanyaannya, mengapa baru sekarang? Dan apakah ini cukup?
Eksploitasi Sumber Daya Alam: Masalah Sistemik
Kasus Raja Ampat bukanlah insiden pertama. Jauh sebelumnya, Indonesia telah menyaksikan kerusakan besar akibat eksploitasi sumber daya alam (SDA) yang tidak terkendali. Kita mengenal luka ekologis di Kalimantan akibat tambang batubara, hutan-hutan Papua yang ditebang demi emas, atau Kepulauan Bangka Belitung yang rusak oleh tambang timah. Kini, demam nikel---yang konon demi transisi energi global---mengancam kawasan-kawasan konservasi.
Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) 2023 mencatat laju deforestasi Indonesia mencapai 119.000 hektar per tahun. Meskipun angka ini menurun dari tahun-tahun sebelumnya, kualitas hutan yang tersisa---terutama hutan primer dan kawasan lindung---terus menurun. Global Forest Watch melaporkan Indonesia kehilangan lebih dari 9 juta hektar hutan primer sejak tahun 2002, dengan puncak kerusakan terjadi akibat pembukaan lahan dan kegiatan tambang.
Kehilangan tutupan hutan bukan hanya soal pohon. Ia memengaruhi iklim mikro, mengganggu daur air, mengikis kesuburan tanah, hingga meningkatkan risiko bencana ekologis seperti banjir, tanah longsor, dan kebakaran gambut. Bahkan, kontribusi Indonesia terhadap emisi karbon global secara signifikan berasal dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan (Land Use, Land Use Change and Forestry/LULUCF), mencapai sekitar 60% dari total emisi nasional (Data Bappenas, 2023).
Pertambangan Terbuka: Luka Menganga di Tubuh Bumi
Apa yang membuat tambang begitu merusak? Pertambangan terbuka (open pit mining) adalah jawabannya. Metode ini menciptakan lubang raksasa di permukaan bumi, menghancurkan ekosistem, mencemari air dan udara, serta kerap meninggalkan kerusakan permanen jika tidak direklamasi. Dalam banyak kasus, reklamasi hanya menjadi formalitas administratif---jauh dari pelaksanaan nyata.