Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Sebandingkah Nilai Ekonomi Sesaat Dengan Kerusakan Alam?

12 Juni 2025   14:53 Diperbarui: 12 Juni 2025   14:53 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Areal Tambang (CNBC)

Selain itu, AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) sering kali menjadi alat formalitas yang mudah "dipesan". Proses perizinan sarat suap, dan penegakan hukum nyaris nihil. Seperti yang diungkap Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 2022, sektor pertambangan adalah salah satu yang paling rentan terhadap praktik korupsi, terutama dalam proses perizinan dan pengawasan.

Kembali ke Raja Ampat: Langkah Awal yang Tak Boleh Berhenti

Keputusan mencabut izin 4 perusahaan tambang nikel di Raja Ampat tentu patut diapresiasi. Tapi ini hanyalah langkah awal. Tanpa reformasi sistemik, kejadian serupa akan terus berulang. Penataan ulang harus menyasar empat titik kritis:

  1. Reformasi Perizinan: Sistem OSS (Online Single Submission) yang digunakan pemerintah perlu dilengkapi dengan mekanisme verifikasi lapangan dan pelibatan masyarakat adat.
  2. AMDAL yang Independen dan Terbuka: Harus ada audit lingkungan oleh lembaga independen, bukan sekadar formalitas birokratis.
  3. Pengawasan Aktif: Kementerian ESDM, KLHK, dan pemerintah daerah wajib bersinergi dalam melakukan patroli rutin dan pengawasan berbasis teknologi (satellite monitoring, drone).
  4. Penegakan Hukum Tegas: Hukum harus tegas tanpa kompromi. Korporasi yang merusak harus disanksi, termasuk denda, pencabutan izin, dan tuntutan pidana jika perlu.

Bukan Antitambang, Tapi Prokeadilan

Penting untuk dicatat, kritik terhadap pertambangan bukan berarti anti-kemajuan. Energi, logam, dan mineral adalah kebutuhan global. Tapi, sebagaimana ditegaskan dalam Konstitusi Pasal 33 UUD 1945, pengelolaan sumber daya alam harus "sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat". Pertanyaannya: rakyat yang mana?

Apakah masyarakat adat yang terusir dari tanahnya? Apakah anak-anak yang kehilangan sumber air bersih? Atau hanya segelintir elite dan korporasi yang diuntungkan?

Seperti diingatkan oleh filsuf Hans Jonas dalam The Imperative of Responsibility (1979), "Tindakan kita hari ini harus mempertimbangkan dampaknya terhadap masa depan, karena teknologi modern memungkinkan kehancuran yang tak dapat diperbaiki." Kutipan ini relevan dalam menggambarkan tanggung jawab generasi kini terhadap masa depan bumi.

Akhirnya, Haruskah Kita Korbankan Alam Demi Keuntungan Ekonomi Sesaat?

Saat dunia sedang giat melawan perubahan iklim, Indonesia tidak boleh terjebak pada logika keuntungan jangka pendek. Keindahan Raja Ampat, kekayaan hutan Kalimantan, dan kearifan masyarakat adat Papua bukanlah komoditas yang bisa ditukar dengan nilai ekspor logam atau angka pertumbuhan PDB semata.

Jika kita terus mengorbankan alam untuk pertambangan yang tidak terkendali, maka bencana akan datang tanpa permisi: banjir yang menyapu desa, longsor yang menelan nyawa, dan udara penuh asap yang mengurung anak-anak di rumah.

Kini saatnya kita memilih: ekonomi sesaat atau keberlanjutan masa depan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun