Hari ini, jalanan di berbagai kota besar di Indonesia kembali dipenuhi rombongan pengemudi ojek online (ojol) yang turun ke jalan. Mereka membawa poster, spanduk, dan suara lantang menuntut perubahan. Tuntutan mereka sebenarnya bukan hal baru---nasib yang lebih baik, sistem pembagian hasil yang adil, dan perlindungan dari negara.
Demo besar-besaran ini dipusatkan di Jakarta, dengan lokasi strategis seperti Kemenhub, DPR/MPR, hingga kantor aplikator seperti Grab dan Gojek jadi titik kumpul. Aksi serupa juga bergema di kota-kota lain: Surabaya, Palembang, Semarang, Yogyakarta, dan Bandung.
Namun, di balik semangat perjuangan itu, muncul satu pertanyaan yang tak kalah penting: apakah ini murni soal kesejahteraan, atau sudah dicampuri urusan politik dan persaingan bisnis?
Isi Tuntutan: Lama Tapi Masih Relevan
Lima poin utama jadi inti demo kali ini:
1. Aplikator harus disanksi jika melanggar aturan pemerintah---khususnya Peraturan Menteri Perhubungan No. 12 Tahun 2019 dan Keputusan Menhub No. 1001 Tahun 2022.
2. Potongan yang diambil aplikasi diminta dipangkas, dari sekitar 20% menjadi maksimal 10%.
3. Penghapusan skema tarif "aceng", "slot", "hemat", dan "prioritas" yang dianggap mempersulit pendapatan driver.
4. Tarif layanan makanan dan barang harus disepakati bersama, bukan ditentukan sepihak.
5. Ada jaminan perlindungan dan peningkatan kesejahteraan, karena mereka bukan sekadar "mitra", tapi tulang punggung layanan.
Tuntutan-tuntutan ini sudah sering disuarakan, tapi belum juga ada perubahan berarti. Tidak heran kalau akhirnya banyak driver merasa harus kembali turun ke jalan.