Melarang angkot beroperasi selama arus balik Lebaran, lalu memberi kompensasi yang justru dimanfaatkan oleh oknum Dishub.
Tidak memproses hukum pejabat yang mengeluarkan izin pembangunan kompleks wisata yang kini dibongkar. Bukankah ini bentuk pembiaran kerugian uang negara?
Ketika emosi dan reaksi cepat menjadi dasar kebijakan, hasilnya seringkali kontraproduktif.
---
Dedi dan Jokowi: Dua Jalan yang Tak Sama
Jokowi memang punya kelemahan: lamban dalam pengambilan keputusan tertentu, terlalu berhati-hati, bahkan dinilai kompromistis oleh sebagian pendukungnya. Namun, ia punya fondasi kuat: visi pembangunan jangka panjang, konsistensi dalam kerja infrastruktur, dan kemampuan membaca dinamika politik nasional.
Dedi punya kekuatan di sisi kedekatan dengan rakyat dan keberanian mengambil risiko. Tapi tanpa kajian, evaluasi, dan akuntabilitas, kepemimpinan semacam ini bisa berujung pada kebijakan yang tidak berkelanjutan dan rawan penyimpangan.
---
Haruskah Dedi Menjadi "The Next Jokowi"?
Secara personal, Dedi Mulyadi memang punya modal elektoral. Karisma, kedekatan dengan masyarakat, dan daya tarik di media sosial menjadikannya magnet politik. Tapi menjadi pemimpin nasional bukan hanya soal karisma. Dibutuhkan kemampuan merumuskan visi besar, membangun sistem, dan menjembatani berbagai kepentingan nasional.
Jika Dedi, yang pernah menjadi ketua tim sukses Jokowi di Jabar, ingin meniru Jokowi, maka ia harus belajar dari sisi substance, bukan hanya style. Dari Jokowi ia bisa belajar pentingnya membangun kebijakan berbasis data, bukan sekadar emosi. Belajar membangun koalisi, bukan hanya memoles citra. Belajar menata sistem, bukan hanya merespons viralitas.