1. Insting vs Perencanaan
Dedi Mulyadi cenderung bertindak cepat, bahkan impulsif. Ketika banjir besar melanda kawasan Puncak, dalam hitungan hari ia langsung memerintahkan pembongkaran kompleks wisata senilai Rp50 miliar. Tak ada penjelasan detail mengenai kajian dampaknya, siapa yang bertanggung jawab atas pembangunan yang gagal itu, atau rencana tata ruang ke depan.
Sebaliknya, Jokowi dikenal sebagai pemimpin yang lebih metodik. Pembangunan MRT dan LRT, misalnya, merupakan eksekusi dari rencana jangka panjang yang sudah dipelajari sejak ia menjabat Gubernur DKI. Ketika memindahkan pedagang Pasar Klewer di Solo, ia melakukan pendekatan persuasif bertahun-tahun.
 "Saya sudah lelah dengan perdebatan dan studi. Kita harus eksekusi," ujar Jokowi dalam banyak kesempatan. Tapi tetap, eksekusi yang dilakukan bukan tanpa dasar atau data.
2. Reaktif vs Strategis
Contoh paling mencolok adalah pelarangan kegiatan study tour dan acara perpisahan sekolah di seluruh Jawa Barat. Kebijakan ini muncul setelah viralnya insiden kecelakaan bus dan keluhan orang tua. Tanpa konsultasi luas, kebijakan dibuat secara top-down. Dedi menyatakan ini demi "keselamatan anak-anak." Namun banyak yang mempertanyakan dampaknya terhadap proses pembelajaran berbasis pengalaman (experiential learning).
Sebaliknya, Jokowi saat menghadapi kasus-kasus sensitif seperti pembebasan lahan atau pemindahan Ibu Kota Negara (IKN), justru memilih pendekatan jangka panjang. Bahkan untuk IKN, ia menggandeng para ahli, konsultan internasional, dan melibatkan proses legislasi.
---
Kritik terhadap Dedi: Populis Tanpa Akar?
Tak sedikit pengamat menilai bahwa Dedi lebih populis daripada strategis. Dalam banyak tindakan, ia cenderung mengandalkan intuisi dan opini publik sesaat. Misalnya:
Membawa remaja-remaja "nakal" ke barak militer demi "pembinaan" tanpa adanya rujukan psikologis atau kajian pendidikan.