Mantan Presiden Joko Widodo kembali menjadi buah bibir. Bukan karena pidato kenegaraan atau keputusan politik besar, tetapi karena satu kunjungan yang sarat makna: silaturahmi ke rumah dosen pembimbing akademiknya di Universitas Gadjah Mada (UGM), Ir. Kasmudjo.Â
Dalam suasana santai dan hangat, Presiden ke-7 RI ini tampak mengenakan kemeja putih lengan panjang dan celana hitam, sederhana seperti biasanya.Namun di balik kesederhanaan itulah, sebuah pesan politik diam-diam dilontarkan: tanpa kata, tanpa konferensi pers, Jokowi seakan menjawab tuduhan demi tuduhan yang belakangan kembali menyeruak soal keabsahan ijazahnya. Dalam unggahan Instagram pribadinya, Jokowi menulis:
 "Hari ini, saya berkunjung untuk bersilaturahmi dengan Dosen Pembimbing Akademik saat kuliah di Fakultas Kehutanan UGM, Bapak Ir. Kasmudjo. Saya doakan beliau selalu sehat dan panjang umur."
Kalimat itu singkat, tapi tajam. Jokowi tidak menyebut isu apa pun. Namun publik yang mengikuti dinamika politik pasti menangkap sinyal perlawanan yang halus namun dalam. Inilah gaya Jokowi: diam yang berbicara, tenang tapi menghantam.
---
Fitnah yang Tak Pernah Padam
Isu ijazah palsu bukanlah hal baru. Sejak mencuat pada Pilpres 2014, tudingan bahwa Jokowi tak pernah kuliah di UGM selalu menjadi senjata kelompok anti-Jokowi. Meski pihak kampus, rektorat, bahkan para dosen angkat suara berkali-kali, teori konspirasi terus dipelihara di ruang digital, terutama oleh akun-akun anonim yang memanfaatkan algoritma media sosial.
Kasmudjo sendiri bukan nama baru dalam pembelaan terhadap Jokowi. Dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 2023, Kasmudjo bersaksi bahwa Jokowi adalah mahasiswa bimbingannya di jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan UGM.
"Beliau memang mahasiswa saya. Saya tahu dan ingat betul. Bahkan saya masih simpan dokumen bimbingan akademiknya," kata Kasmudjo ketika itu, dikutip dari Kompas.id, 7 November 2023.
Namun kini, di usia senja dan dalam kondisi kesehatan yang tidak optimal, Kasmudjo harus kembali menghadapi gempuran opini yang sama. Kedatangan Jokowi jelas bukan sekadar nostalgia, melainkan pernyataan solidaritas: "Saya hadir. Saya tidak lari dari masa lalu saya."
---
Politik Simbolik, Gaya Jokowi
Jokowi memang dikenal tak suka frontal. Sejak menjabat wali kota Solo, kemudian gubernur DKI Jakarta, hingga presiden dua periode, ia memilih simbol daripada retorika. Ia menjawab sindiran dengan kerja, tuduhan dengan aksi nyata.
Kunjungan ke rumah Kasmudjo adalah bentuk politik simbolik yang khas. Dalam konteks politik komunikasi, ini adalah teknik yang disebut "strategic silence", yaitu ketika seorang pemimpin tidak meladeni tuduhan secara langsung, tetapi menunjukkan kebenaran melalui tindakan. Bukan sekadar defensif, tapi ofensif dalam diam.
Dalam budaya Jawa, ini sejalan dengan prinsip "alon-alon asal kelakon"---pelan tapi pasti, tidak meledak-ledak, namun tepat sasaran.
---
Apa yang Bisa Dipelajari dari Sikap Jokowi?
Pertama, Jokowi menunjukkan bahwa tidak semua fitnah layak dijawab dengan emosi. Kadang, cukup tunjukkan kebenaran melalui kesaksian orang-orang yang benar-benar tahu.
Kedua, Jokowi memahami bahwa saat tuduhan menyentuh orang lain---dalam hal ini dosennya---ia tidak boleh tinggal diam. Kehadirannya menjadi kekuatan moral bagi Kasmudjo yang tengah berada dalam tekanan. Ini adalah bentuk leadership empathy yang jarang terlihat di panggung politik.
Ketiga, Jokowi juga memperlihatkan cara berpolitik tanpa memperkeruh suasana. Ia tidak menyerang balik, tidak membawa massa, tidak menyulut konflik horizontal. Ia hanya berjalan dan mengetuk pintu seorang guru, lalu mendoakan kesehatannya. Sederhana, namun penuh makna.
---
Mengembalikan Politik ke Akarnya: Moral dan Keteladanan
Dalam situasi politik yang semakin brutal---di mana hoaks dan fitnah menjadi senjata utama---tindakan Jokowi seharusnya menjadi pelajaran. Politik tidak melulu soal adu suara dan kekuasaan, tapi juga soal keteladanan, nilai, dan penghormatan kepada orang-orang yang berjasa.
Mungkin benar, Jokowi tidak sempurna. Kritik terhadap kebijakan, proyek IKN, hingga pendekatannya terhadap oposisi tetap harus dibuka lebar. Tapi jika kita membiarkan fitnah personal seperti ijazah palsu terus dipelihara tanpa dasar, maka demokrasi kita bukan hanya cacat, tetapi kehilangan ruhnya.
---
Saat Kebenaran Tak Perlu Teriak
Dalam dunia yang penuh kebisingan, kadang langkah kaki yang tenang bisa lebih keras dari pekikan para pembenci. Jokowi mungkin tidak pandai berkata-kata, tidak menggulung lidah seperti para orator kawakan. Tapi hari itu, saat ia mengetuk pintu rumah dosennya, ia sedang mengetuk kesadaran publik: bahwa kebenaran tidak perlu berteriak---cukup ditunjukkan.
Dan mungkin itulah cara terbaik menjawab pembenci: hadir, bersaksi dalam tindakan, dan terus melangkah.
---
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI