Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Apa Makna Ucapan Pertama Paus Leo XIV Kepada Dunia?

9 Mei 2025   10:57 Diperbarui: 9 Mei 2025   14:14 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Paus Leo XIV (Reuters)


Pukul 20.14 waktu Vatikan, dunia menyaksikan momen bersejarah. Dari balkon utama Basilika Santo Petrus, sosok yang selama berhari-hari dinanti akhirnya muncul di hadapan ribuan umat dan kamera dunia. "Habemus Papam" --- kita memiliki Paus --- terdengar menggema, menandai terpilihnya pemimpin baru umat Katolik sedunia menggantikan Paus Fransiskus yang telah berpulang.

Namanya: Paus Leo XIV, usia 69 tahun. Ia adalah Paus pertama dalam sejarah Gereja Katolik yang berasal dari Amerika Serikat, lahir di Chicago pada 14 September 1955. Nama aslinya adalah Robert Francis Prevost, seorang anggota Ordo Santo Agustinus yang sebelumnya menjabat sebagai Prefek Dikasteri untuk Para Uskup serta Uskup Chiclayo di Peru.

Penampilannya yang sederhana namun karismatik malam itu menjadi pusat perhatian. Namun, bukan hanya sosoknya yang membuat publik terdiam, melainkan juga pesan pertamanya yang penuh makna.

Pesan Pertama yang Jadi Arah Kepemimpinan

Dalam pidato perdananya yang singkat namun sarat makna, Paus Leo XIV berkata, "Biarlah Gereja menjadi jembatan harapan, bukan benteng kekuasaan." Kalimat itu langsung menjadi kutipan yang viral dan dikutip di berbagai media internasional.

Ia tidak berbicara panjang tentang dogma, hierarki, atau soal Vatikan sendiri. Sebaliknya, ia memulai dengan "manusia, penderitaannya, dan harapan". Sebuah deklarasi moral yang menyiratkan arah baru kepemimpinannya: Gereja akan bergerak dari eksklusivitas menuju keterbukaan, dari menara gading menuju jalan kemanusiaan.

Namun ada satu bagian penting yang patut dicatat: dalam pidatonya, Leo XIV juga menyampaikan penghormatan mendalam kepada Paus Fransiskus. "Kepada gembala yang telah membuka pintu belas kasih dan menunjukkan bahwa kelembutan adalah kekuatan sejati Gereja --- terima kasih, Paus Fransiskus, atas teladan yang luar biasa," ujarnya, disambut tepuk tangan yang panjang.

Ungkapan itu bukan hanya basa-basi. Ia menunjukkan kesinambungan, bahwa Paus Leo XIV tidak datang untuk menghapus jejak pendahulunya, tetapi untuk melanjutkan dan memperdalamnya.

Siapa Paus Leo XIV?

Robert Francis Prevost bukan orang asing dalam diplomasi kemanusiaan Gereja. Sebelum menjabat sebagai Paus, ia dikenal sebagai tokoh yang aktif dalam pelayanan lintas benua. Bertahun-tahun melayani di Peru, ia dikenal dekat dengan komunitas miskin dan minoritas, serta vokal dalam isu-isu perubahan iklim, keadilan sosial, dan perlindungan migran.

Sebagai Prefek Dikasteri untuk Para Uskup, Prevost memiliki peran sentral dalam reformasi internal Gereja yang didorong oleh Paus Fransiskus, khususnya dalam proses seleksi uskup yang lebih transparan dan berorientasi pastoral.

Muda, Harapan, dan Tantangan

Dengan usia yang relatif muda untuk seorang Paus, Leo XIV membuka harapan akan kepemimpinan yang lebih aktif dan adaptif terhadap tantangan zaman. Dunia Katolik --- dan dunia secara umum --- menaruh harapan besar pada kepemimpinan ini.

Namun, ia juga akan menghadapi medan yang rumit: fragmentasi dalam tubuh Gereja, resistensi internal terhadap reformasi, serta tekanan eksternal dari dunia yang kian terpolarisasi --- baik soal perang, krisis lingkungan, maupun kecemasan spiritual manusia modern.

Misi Kemanusiaan, Bukan Sekadar Spiritualitas

Pesan pertamanya jelas: Gereja bukan hanya tempat berdoa, tapi harus menjadi pelayan nyata dunia. Umat membutuhkan gembala yang memahami luka sosial dan siap turun ke "medan perang" kemanusiaan: anak-anak yang kelaparan, korban konflik, pengungsi, hingga generasi muda yang kehilangan arah.

"Kita semua adalah jembatan, bukan tembok," ucapnya --- kalimat ini kini menjadi semacam kredo awal yang menegaskan bahwa Paus Leo XIV tidak ingin menjadi penguasa simbolik, tapi penggerak perubahan.

Kesimpulan: Simbol Baru Harapan Global?

Paus Leo XIV datang di saat dunia mengalami kelelahan spiritual dan sosial. Pesan pertamanya bukan sekadar simbolis. Ia adalah peta jalan, semacam cetak biru bagi masa depan kepemimpinan Katolik --- yang tidak sekadar memelihara doktrin, tetapi membawa terang ke dalam gelapnya kemanusiaan.

Dengan akar pastoral yang kuat, pengalaman lintas budaya, dan komitmen terhadap nilai-nilai inklusif, Paus Leo XIV berpotensi menjadi gembala dunia yang bukan hanya berbicara dari altar, tetapi juga hadir di tengah penderitaan manusia.

Dan yang terpenting, seperti ungkapannya kepada Paus Fransiskus, ia datang bukan sebagai pemutus, melainkan sebagai pelanjut misi belas kasih yang telah ditanamkan sebelumnya.

Semoga misi ini bukan sekadar retorika awal. Dunia dan umat Katolik menunggu langkah nyata dari sang Paus yang lahir dari jantung Amerika, namun memanggil hati seluruh dunia.

---

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun