Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Saat Prabowo Ogah Dikatakan Boneka Jokowi

7 Mei 2025   23:05 Diperbarui: 8 Mei 2025   05:25 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jokowi dan Prabowo (Antara)

Di tengah dinamika politik nasional yang kian kompleks pasca-Pemilu 2024, Presiden Prabowo Subianto akhirnya angkat bicara. Dalam Sidang Kabinet Paripurna yang digelar pada Senin, 5 Mei 2025, di Istana Merdeka, ia menyatakan secara tegas: "Saya bukan boneka siapa pun." Pernyataan ini muncul sebagai respons terhadap tuduhan sejumlah pihak yang menyebut dirinya sebagai "presiden boneka" dari Joko Widodo, pendahulunya yang kini masih berpengaruh kuat dalam konstelasi politik nasional.

Prabowo menyatakan bahwa menjalin komunikasi baik dengan para mantan presiden bukanlah hal tabu, melainkan sikap kenegarawanan yang seharusnya dijunjung tinggi. "Saya minta masukan dari Presiden ke-6 Pak SBY, dari Presiden ke-5 Bu Megawati Soekarnoputri, dan juga dari Presiden ke-7 Pak Joko Widodo," ujarnya. "Mereka punya pengalaman. Kenapa saya tidak boleh mendengarkan mereka?"

Pernyataan ini bukan sekadar klarifikasi, tapi juga sinyal penting bahwa Prabowo tengah membangun citra kepemimpinannya sendiri---yang mandiri namun tetap menghormati sejarah dan kesinambungan.

Tradisi yang Baru Dimulai

Menilik sejarah pascareformasi, hubungan antara presiden dan mantan presiden di Indonesia cenderung kaku, bahkan renggang. Susilo Bambang Yudhoyono nyaris tak pernah bertemu secara formal dengan Megawati setelah menggantikannya. Hubungan Jokowi dan SBY juga diwarnai ketegangan politik, terutama pada periode kedua pemerintahan Jokowi. Kini, pada masa transisi antara Jokowi dan Prabowo, publik menyaksikan sesuatu yang baru: adanya keakraban dan kesinambungan yang lebih mulus.

Keakraban ini, pada satu sisi, menumbuhkan optimisme akan stabilitas politik nasional dan kelanjutan program pembangunan. Prabowo bahkan menegaskan komitmennya untuk melanjutkan program strategis era Jokowi, mulai dari pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) hingga transformasi digital dan hilirisasi industri. Dalam konteks tata kelola negara, kesinambungan kebijakan adalah sesuatu yang patut diapresiasi. Kita tentu masih mengingat betapa banyak program pemerintah yang mubazir karena diganti total saat berganti rezim.

Namun, di sisi lain, kedekatan ini juga menjadi celah serangan bagi para oposisi. Tuduhan bahwa Prabowo hanyalah perpanjangan tangan Jokowi terus digemakan. Istilah "presiden boneka" digaungkan di media sosial dan forum-forum diskusi sebagai cara meragukan kemandirian kepemimpinannya.

Tuduhan Politik atau Strategi Perpecahan?

Perlu disadari bahwa tudingan semacam itu tidak berdiri di ruang hampa. Ada strategi politik di baliknya. Dengan menjatuhkan persepsi publik bahwa Prabowo tidak otonom, lawan-lawan politik berusaha menggembosi legitimasi moral dan elektoralnya. Mereka berharap muncul kekecewaan dari basis pendukung lama Prabowo yang merasa dikhianati karena terlalu dekat dengan Jokowi, dan dari kubu Jokowi yang mungkin ragu memberikan kepercayaan penuh.

Namun strategi ini berisiko memecah belah bangsa. Hoaks, manipulasi narasi, dan provokasi identitas telah menjadi senjata politik yang merusak demokrasi kita dari dalam. Lembaga seperti Mafindo dan Kominfo mencatat bahwa selama 2024-2025, lebih dari 2.500 hoaks politik tersebar luas di media sosial, sebagian besar terkait dengan isu pemilu, pemerintahan, dan relasi antar tokoh nasional.

Apakah ini yang kita inginkan dalam demokrasi? Demokrasi yang bukan diisi oleh perdebatan visi, tapi saling tuduh dan perang kata-kata kosong?

Saatnya Dewasa Dalam Demokrasi

Kita harus beranjak dari politik gaya lama. Dalam sebuah demokrasi yang matang, perbedaan pandangan adalah niscaya. Kritik adalah vitamin demokrasi. Namun kritik yang membangun berbeda dengan tuduhan tanpa bukti. Dan membangun demokrasi tidak bisa dilakukan dengan membakar kepercayaan rakyat terhadap institusi maupun pemimpinnya sendiri.

Yang terjadi hari ini adalah ujian kedewasaan kita. Prabowo jelas bukan presiden sempurna. Ia tetap harus diawasi, dikritisi, dan dievaluasi. Namun bukan karena kedekatannya dengan Jokowi lantas ia dicap boneka. Bukti independensi dapat dilihat dari beberapa langkah berani yang telah ia ambil---seperti rencana restrukturisasi kementerian, langkah menahan ekspor bahan pangan strategis untuk ketahanan nasional, serta ketegasan dalam diplomasi pertahanan di kawasan Indo-Pasifik.

Bahkan dalam konteks internal partai dan koalisi pun, Prabowo menunjukkan bahwa ia tidak semata-mata tunduk pada tekanan politik. Ia tetap memegang kendali penuh dalam menyusun kabinet, walau tentu dengan pertimbangan koalisi yang realistik.

Jangan Sibuk Mencurigai Pemimpin Sendiri

Kita tidak sedang kekurangan tantangan. Ekonomi global belum stabil. Krisis pangan dan energi mengintai. Perubahan iklim dan disrupsi teknologi terus mengubah wajah dunia. Indonesia membutuhkan persatuan, kolaborasi, dan fokus menyelesaikan masalah riil.

Mencurigai pemimpin sendiri secara membabi buta justru bisa menjadi pengkhianatan terhadap cita-cita bangsa. Kita tak boleh terlalu cepat mengadili, apalagi dengan label yang merendahkan martabat presiden hasil pemilu sah.

Tugas kita kini bukan menebar keraguan, melainkan memastikan pemerintahan berjalan di rel yang benar. Menjadi oposisi yang kritis, bukan destruktif. Menjadi rakyat yang cerdas, bukan pengikut bisik-bisik dunia maya.

Mari Bersatu

Dalam sejarah bangsa, persatuan selalu menjadi titik tolak kemajuan. Kita tidak akan maju jika setiap pemimpin baru selalu dicurigai, setiap program lama selalu ditinggalkan, dan setiap suara berbeda selalu dimusuhi.

Mari menilai Prabowo dari kerja nyatanya, bukan dari sentimen politik semata. Mari bersatu menghadapi tantangan besar di depan. Karena musuh kita hari ini bukan Prabowo, bukan Jokowi, bukan oposisi, tapi kemiskinan, ketimpangan, keterbelakangan, dan kebodohan yang terus membayangi masa depan anak-anak kita.

Kritiklah dengan cerdas. Kawal dengan data. Tapi jangan biarkan narasi boneka menjadi simbol kebangkrutan nalar kita sendiri.

---

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun