Perlu ditegaskan bahwa Menteri HAM bukan pembuat kebijakan pendidikan, apalagi kebijakan hukum dan ketertiban di daerah. Wewenang Menteri HAM adalah memastikan bahwa kebijakan yang dibuat oleh siapapun---pemerintah pusat maupun daerah---tidak melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia.
Mendorong replikasi pendekatan militer terhadap anak-anak bukan hanya di luar kapasitasnya sebagai menteri, tetapi juga dapat menimbulkan preseden buruk, seolah negara melegitimasi pendekatan keras yang tidak berbasis pedagogis dan ilmiah.
Jika pun Menteri HAM ingin terlibat dalam kebijakan pendidikan anak, maka seharusnya ia bersuara dalam memperkuat sistem rehabilitasi sosial, pendidikan karakter berbasis komunitas, dan intervensi psikologis yang menghargai martabat anak.
Alternatif: Pendidikan yang Humanis dan Rehabilitatif
Ketimbang barak militer, mengapa tidak mengembangkan pusat-pusat rehabilitasi berbasis sekolah yang menekankan keterlibatan keluarga, konseling, dan terapi psikososial?
Program Sekolah Ramah Anak (SRA) dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), dan pendekatan restorative justice yang mulai diadopsi oleh Polri dan Kejaksaan dalam kasus anak, telah menunjukkan keberhasilan dalam membina anak tanpa kekerasan dan tanpa menjauhkan mereka dari lingkungan sosial.
Studi dari American Psychological Association menyebut bahwa anak-anak yang ditangani dengan pendekatan restoratif dan penuh empati lebih kecil kemungkinannya untuk mengulangi perilaku negatif dan lebih cepat pulih dari trauma sosial.
Menjaga Anak, Menjaga Masa Depan Bangsa
Anak-anak yang bersalah bukan untuk dihukum dengan keras, melainkan untuk dibimbing dengan cerdas. Mereka bukan bahan percobaan kebijakan populis, melainkan generasi yang harus disiapkan dengan kasih dan logika.
Dalam konteks ini, pendekatan militeristik justru memperlihatkan kemunduran cara berpikir negara terhadap pendidikan dan pembangunan manusia. Sementara dunia tengah berlomba mencetak generasi kritis dan berdaya pikir bebas, kita malah ingin membentuk generasi patuh tanpa suara.
Dan ketika Menteri HAM, yang seharusnya menjadi pagar terakhir pelindung hak-hak paling dasar warga negara, justru mendorong pendekatan semacam ini, maka itu pertanda kita perlu membunyikan alarm darurat demokrasi---dan mulai bertanya: siapa sebenarnya yang melindungi anak-anak Indonesia?***MG